Kalatidha
Reportase Sang Petualang
tentang Pelecehan Kemanusiaan
Judul : Kalatidha
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Ide Cerita : Nugroho Suksmanto
Jenis : Novel
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
milu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
ndilalah karsa allah
begja-begjane kang lali
luwih begja kang eling lawan waspada
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)
Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma ini tak pelak mengingatkan kita akan Serat Kalatidha karya Raden Ngabehi Ranggawarsito. Karena berpijak pada serat ini, tak ayal, Kalatidha berpusar pada arus garapan utama pada umumnya seniman, yaitu tentang keruwetan, kerakusan, kerusakan. Bahkan, begitu membaca judulnya, pembaca akan terbayang isi novel.
Pilihan mainstream ini memang dekat sekali dengan track record Seno Gumira Ajidarma (SGA) sejak kecil yang ‘pemberontak’. Meskipun terlahir di lingkungan akademis UGM (putra Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, Guru Besar FMIPA UGM), SGA terkenal pembangkang di sekolah. Waktu sekolah dasar ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib kor sampai ia dipanggil guru. Waktu di SMP 5 Yogyakarta ia memberontak: tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong, dan memelopori pemakaian tas kresek, sehingga sebagian besar siswa memakai tas kresek di sekolah. Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, SGA tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman, Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor. Lancar. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, SGA pulang dan meneruskan sekolah. (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2004, Panama SMP 5 Jogja, 2008)
Tabiat melawan ‘kebijakan’ sekolah ini berpengaruh pada Kalatidha.
Ini kualami dalam pelajaran menggambar. Apabila kami diminta menggambar di atas sabak dengan grip, yang kalau salah bisa dibersihkan dengan ludah, maka bisa ditebak bahwa kami akan menggambar yang itu-itu saja: pemandangan sawah dengan dua gunung dan jalan membelah di tengahnya. Namun sejak berlangsung pencidukan di mana-mana, kami sekarang mempunyai gambar lain: itulah simbol bergambar belati pasukan komando baret merah yang menjadi pujaan di mana-mana. Setelah beberapa bulan aku pun bosan dan suatu kali menggambar yang lain: yakni lambang palu arit.
Aku belum selesai menggambar ketika seorang anak berteriak, bahwa aku menggambar palu arit. Mendadak seluruh anak laki-laki di kelas mengerumuni mejaku, bau keringat mereka yang apak selalu terasa kembali olehku. Aku merasa gerah, namun tetap tenggelam dalam keasyikanku. Wajah teman-temanku kurasa sudah sama ganasnya dengan orang-orang yang memburu orang sampai masuk kelas waktu itu.
“Bapakmu PKI , ya?”
“Bapakmu PKI?”
“Kamu PKI?”
Memang sudah sering kudengar istilah PKI waktu itu. Suatu hari ada seorang anak yang tak pernah datang lagi ke sekolah dan penjelasan yang kudengar hanyalah, “Bapaknya PKI.” Namun, aku sungguh tidak tidak tahu apa hubungan gambar palu arit itu dengan PKI.
(Kalatidha, 2007, halaman 22)
Kutipan di atas menyiratkan jiwa berontak SGA terhadap stagnasi dan kesewang-wenangan. Dengan kata lain, pemberontakan ini bukan rekaan pengarang dalam kamar semata, melainkan data empiris yang identik dengan SGA. Beberapa paragraf kutipan di atas menyaran pada reportase beberapa kejadian berbeda tetapi identik. Tudingan sebagai pengikut PKI di atas, meskipun berseting tumbangnya orde lama, tetapi dipopularkan lagi, terutama untuk legitimasi pencidukan aktivis atau demonstran yang bergejolak pada masa tuntutan reformasi. Di tengah gejolak ini SGA terseret di dalamnya, baik secara langsung maupun sekadar sebagai ‘saksi’. Secara eksplisit, keterlibatan SGA dalam suasana chaos ini tampak pada surat terbuka Seno Gumira Ajidarma.
Surat Terbuka
Seno Gumira Ajidarma
APAKAH TEROR SUDAH DIMULAI?
SURAT ini adalah surat terbuka untuk siapa saja yang masih
memiliki akal sehat, hati nurani, dan terutama nyali.
Seperti telah diketahui, saya melalui Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Yogyakarta telah mengajukan tuntutan kepada Panglima Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, sehubungan dengan Tragedi 3 April di Universitas
Gadjah Mada. Dalam peristiwa itu, anak saya, Timur Angin, 19, telah diseret
dan diinjak-injak kepalanya oleh para petugas keamanan.
Detil dari peristiwa itu, yang disampaikan oleh Timur
sendiri, telah saya tuliskan dalam Mengapa Anak Saya Diinjak-injak,
yang dimuat koran Bernas sebagai Anak Saya Timur Angin.
Dalam tulisan itu sudah terungkap, bahwa Timur hanya menonton, tidak memotret,
tidak berteriak-teriak, apalagi melempar batu. Sebagai bapaknya, bukankah
wajar saya menggugat Pangab, bukan sebagai pribadi, tapi sebagai pihak
yang bertanggung jawab atas atas kebijakan institusi angkatan bersenjata
ini? Saya hanya menuntut agar kesalahan ini diakui, dan agar minta
maaf kepada korban yang tidak bersalah.
Saya tidak bicara tentang insiden, saya tidak bicara tentang
salah pentung, tentang salah pukul, tentang ketidaksengajaan -- siapakah
yang punya akal sehat dan hati nurani setuju bahwa menginjak-injak kepala
orang lain dengan sengaja merupakan kelakuan yang beradab?
Apakah tindakan semacam ini memang dibenarkan dalam pendidikan
dan kebijakan bagi para petugas keamanan? Apalagi kepada orang yang tidak
bersenjata dan bersalah. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih
dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada Kolonel (Pol) Chaerul, yang telah
berusaha keras melindungi Timur ketika sedang digebuki, meskipun penganiayaan
itu sempat berlangsung terus.
SAYA telah mengajukan tuntutan, dan hal itu telah dipublikasikan.
Sehubungan dengan hal itu banyak pihak telah memperingatkan saya bahwa
"seperti yang lain-lain" pasti akan ada teror. Maksudnya? Tekanan tidak
resmi supaya saya mencabut gugatan.
Saya bukan orang yang begitu beraninya melawan teror,
melainkan saya masih percaya bahwa jiwa ksatria seperti yang ada pada diri
Kolonel (Pol) Chaerul belum hilang sama sekali dari ABRI milik rakyat Indonesia
itu. Namun apakah yang telah terjadi?
Pagi ini, Selasa 7 April 1998, sekitar pukul 10.00. Dua
orang telah melakukan tindakan "maling" di rumah orangtua saya di Bulaksumur.
Di rumah hanya ada dua orang waktu itu, saya dan ayah saya. Saya membaca
di dalam kamar dan ayah saya sibuk menerima telepon. Pembantu rumah tangga,
Yuni, sedang ke toko membeli kopi.
Ketika Yuni datang, ada seseorang berdiri di pintu samping.
Yuni terus masuk karena dia pikir barangkali tamu. Di dalam, ternyata sudah
ada orang lain yang tak dikenalnya menjinjing sesuatu. Yuni langsung masuk
ke kamarnya dan ternyata kamarnya itu sudah berantakan dan terobrak-abrik.
Tas Yuni terletak di bawah, Yuni langsung memeriksa. Ternyata uang Rp 125.000
dan kalung emas sudah hilang. Yuni langsung berteriak-teriak. Saya meloncat
keluar. Bersama Yuni saya mengejar keluar. Yuni menunjuk orangnya yang
tadinya berjalan tenang-tenang dan langsung lari. Saya berteriak "Maling!
Maling!" dan banyak orang mengejar.
Kedua orang itu langsung meloncat naik bus Kobutri dari
arah Jalan Kaliurang ke selatan. Saya dan orang-orang tidak melanjutkan
pengejaran karena Yuni tergelimpang di tepi jalan sambil menangis
menjerit-jerit.
Kami menolongnya. Yuni kemudian pingsan.
Terus terang saya merasa terteror. Setelah siuman Yuni
menangis terus menerus. Kedua orang itu tampak necis, yang satu mengenakan
baju batik lengan panjang malah, dan rambutnya cukuran bros. Saya berdoa
sesungguh-sungguhnya, bahwa kedua orang ini maling beneran. Yang sudah
cukup puas dengan kalung emas dan uang Rp 125.000. Kalau ini hanya
maling-malingan,
apakah saya akan kuat menghadapinya? Rumah itu hanya berpenghuni dua orang
tua, masing-masing berusia 78 dan 76 tahun, bersama Yuni dan anak saya.
Apakah saya harus mengerahkan orang-orang untuk berjaga 24 jam?
Saya tidak menuduh, tidak melakukan insinuasi, dan sungguh-sungguh
percaya kepada jiwa ksatria aparat keamanan -- kecuali yang terbukti melakukan
penganiayaan.
Saya menulis surat terbuka karena saya merasa tidak berdaya,
sendirian, seolah-olah menghadapi ancaman dari langit. Benarkah saya harus
mencabut gugatan saya? Bagaimana tanggung jawab saya terhadap hidup saya
kalau saya tidak melakukan kewajiban yang harus dijalankan seorang bapak?
Lantas bagaimana dengan jaminan keselamatan saya dan keluarga saya?
Surat ini adalah surat terbuka kepada siapa saja yang
memiliki akal sehat, hati nurani, dan secuil nyali. Saya sendiri tidak
terlalu yakin dengan besar kecilnya nyali saya. Tapi benarkah saya harus
mundur tanpa mendengar nada maaf dan penyesalan? Saya hanya memberi kesempatan
institusi militer untuk melakukan sikap terhormat. Apakah saya salah? Apakah
saya keliru? Kawan-kawan dari LBH mengatakan tidak. Suara hati saya juga
mengatakan tidak. Saya ingin mendengar pendapat Anda.
(Seno Gumira Ajidarma)
Surat tersebut menunjukkan kegelisahan batin dan pikiran terkait dengan kondisi kemanusiaan yang dilecehkan oleh pola militerisme. Sebagai penguat anggapan ini, Mohamad Sobary, 2002, berpendapat, “Fungsi kepujanggaan Seno memang mewakili perasaan maupun aspirasi kita. Sekarang kita sedang berada dalam gelap, dan Seno berteriak tentang kegelapan itu, dan kita pun dibikinnya lebih sadar secara politik bahwa kegelapan merupakan hasil sebuah proses sejarah, dan kita pun tahu, sejarah – dulu dan sekarang – selalu dan selalu merupakan hasil rekayasa kaum elite untuk melindungi kepentingan mereka. Dan kita tertipu terus-menerus.”
Karena SGA seorang wartawan, kegelisahan ini diikuti dengan proses hunting, baik mencari data dari narasumber maupun sebagai saksi mata, dan mengolahnya sebagai karya yang kontemplatif. Proses kreatif ini mengingatkan kita kepada banyak karyanya yang lain, misalnya, ‘Tujuan: Negeri Senja’ dan Saksi Mata. Demi Saksi Mata, SGA memotret langsung di Timor Timur.
Kerangka Kalatidha adalah kemanusiaan. Meskipun cenderung membela ‘komunis’ yang dilecehkan kemanusiaannya, Kalatidha tidak menjadi pendagingdarahan faham. Kalatidha tidak terjatuh ke dalam propaganda faham atau aliran filsafat. Posisi ‘komunis’ di sini sama dengan warga Timor-Timur, demonstran, murid, seniman, istri, pacar, wartawan, dan lain-lainnya dalam karyanya yang lain.
Meskipun menebar kegelisahan dalam diri, SGA tidak lantas menjadi kreator dalam kamar yang murni mengandalkan ilham dan kontemplasi, kemudian mereka-rekanya menjadi sebuah cerita yang mengharu biru. Selain hunting dan memotret langsung, terkadang dia menggali dari sumber-sumber lain. Bahkan Kalatidha ini, meskipun bersumber pada ide cerita Nugroho Suksmanto, beberapa adegan merupakan deskripsi dramatis Serat Kalatidha-nya Ranggawarsito.
Dasar karoban pawarta
bebaratun ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri
yen pinikir sayekti
mundhak apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali
lamun tuwuh dadi kekembanging beka
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)
Persoalannya hanyalah karena
kabar angin yang tiada menentu
akan ditempatkan sebagai pemuka
tetapi akhirnya sama sekali tidak benar
sebenarnya kalau direnungkan
apa sih gunanya menjadi pemimpin
hanya akan membuat kesalahan-kesalahan
lebih-lebih bila ketambahan lupa diri
hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)
Bait dalam Serat Kalatidha tersebut dideskripsikan dengan sangat dramatis di dalam Kalatidha-nya Seno Gumira Ajidarma. Berdasar pada serat tersebut tampak bahwa sumber permasalahan adalah kabar yang tidak sepenuhnya jujur. Pemimpin yang lupa diri menggunakan kabar sebagai senjata untuk meraih atau memperkokoh kekuasaan. Oleh karena itu tak mengherankan kalau SGA mengutipkan sebanyak 22 berita dari koran yang beredar pada era akhir Soekarno dan fase pemberantasan ‘komunis’, yang didominasi surat kabar Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, serta beberapa dari Bintang Timur dan Kompas. Berita dari rezim tersebut selanjutnya menggerakkan aparat dan masyarakat untuk melangsungkan serangkaian pembasmian dan teror.
Pemunculan masalah dalam alur Kalatidha adalah keperkasaan kabar sebagai legitimasi penghakiman: anggota PKI atau bukan. Secara spesifik permasalahan muncul karena tersiar kabar bahwa terdapat ‘komunis’ di dalam sebuah keluarga. Rumah dibakar, seisi rumah dibantai, bahkan kedua anak perempuan kembar keluarga itu pun jadi korban: 1 meninggal dan 1 gila.
Sebagai penguat ilustrasi, selain pelecehan kemanusiaan yang terentang sepanjang alur utama, banyak dilaporkan pelecehan kemanusiaan yang lain, misalnya,
Aku mendekati mereka (mantan tahanan politik, Penulis), kutawarkan penampungan di rumahku. Di sanalah mereka bercerita.
“Saya tidak tahu apa-apa sebenarnya soal Gestapu. Saya memang anggota Cakrabirawa dan kenal Untung—tapi apa salahnya kalau saya kenal Untung? Hampir setiap hari sebelum diberangkatkan ke Pulau Buru saya disiksa dan disuruh mengaku. Saya tidak tahu harus mengaku apa dan kalaupun tahu kenapa saya harus mengaku? Katanya saya mengetahui rencana penculikan dan pembunuhan para jenderal. Tentu saja saya tidak tahu. Setiap hari punggung saya ditetesi lelehan ban sepeda yang dibakar. Jangan ditanya seperti apa rasanya. Seabagai anggota pasukan pengawal istana, saya bukan tidak dilatih untuk menahan penderitaan, yang saya tidak mengerti bagaimana orang-orang militer ini tahu betul berbagai cara penyiksaan.
.............
“Karena segala siksaan takkan bisa membuka mulut saya, mereka gunakan lain cara yang tidak pernah saya bayangkan ada. Saya masih ditindih ketika pengecut lain datang membawa seorang tahanan wanita. Ia sedang hamil dan katanya ia Gerwani. Saya harus melihat bagaimana ia ditelanjangi dan kakinya dibuka paksa, agar sangkur pada bayonet bisa dimasukkan ke kemaluannya. Saya lihat sangkur itu sudah berdarah ketika darah saya naik dan suatu kekuatan luar biasa mendadak merasuki saya, meja itu berhasil saya balik dan menyungkurkan empat pengecut yang sejak tadi ongkang-ongkang sambil tertawa.
“Saya berdiri dan meninju pemegang bayonet itu sampai pingsan. Wanita malang itu sudah sejak tadi pingsan. Saya kemudian tak tahu apa yang terjadi karena sebuah pentungan dari belakang juga membuat saya pingsan...
(Kalatidha, 2007, halaman 62)
Seperti disebutkan di atas, banyak ilustrasi penguat alur utama. Bahkan bisa dikatakan novel ini lebih banyak mewartakan kisah maupun sketsa nonalur utama. Alur utama sebenarnya simpel: keluarga dibantai, menyisakan satu putri gila – putri gila dijadikan objek giliran perkosaan rutin di rumah sakit jiwa – saudara kembar putri gila yang mati arwahnya merasuk ke dalam raga si putri gila – si putri gila jadi heroine sakti – pembalasan dendam.
Tokoh aku dalam novel ini pun tidak terkait langsung dengan alur utama. Hubungannya dengan pendekar putri sekadar secret admirer sejak masih bocah, sejak si pendekar belum dilanda musibah kezaliman.
Posisi ‘tokoh aku’ sebatas pewarta. Posisi ini sangat aman karena dia bisa melaporkan segala bentuk kegilaan dan paradoksitas dalam rentang zaman. Tetapi karena kebebasan mewartakan ini, Kalatidha lebih menyerupai kumpulan cerpen daripada novel. Hubungan antarbab dalam novel sangat dipaksakan. Kondisi ini didukung kenyataan bahwa Seno Gumira Ajidarma lebih dikenal sebagai raja cerpen Indonesia modern daripada novelis. Dengan kata lain, jika dikirimkan, ada beberapa bab dalam novel ini -- yang penulis yakin -- dapat dimuat di media massa patron sastra serius skala nasional.
Fungsionalitas masing-masing kisah perangkai novel ini sangat longgar: kisah ‘tokoh aku’, catatan Joni Gila, kisah kakak ‘tokoh aku’, negeri cahaya, pawai cahaya, dan lain-lain. Masing-masing kisah dapat menjadi satu cerita yang solid.
Atribut yang berdesak-desakan di pundak SGA menyebabkan celah kemungkinan terjadinya kondisi di atas. Seno Gumira Ajidarma yang pada usia 17 tahun puisinya sudah dimuat di Horizon, adalah sosok ‘petualang’, wartawan, fotografer, cerpenis, kritikus film, dramawan, dan dosen matakuliah Kajian Media di FFTV Institut Kesenian Jakarta dan Kajian Sinema di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Selain atribut di atas, SGA adalah sosok penggemar komik Indonesia, misalnya Djair, Ganes Th, Jan Mintaraga, Teguh Santosa, Wied NS, Hasmi, R.A. Kosasih, dan Hans Jaladara. Bahkan gelar doktor dalam bidang Ilmu Susastra dia peroleh setelah berhasil mempertahankan disertasinya dalam sidang terbuka Senat Akademik UI berjudul Tiga Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan. Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, dengan kopromotor Dr. Melani Budianta dan Dr. Rahayu S. Hidayat. Para penguji terdiri dari Prof. Dr. Primadi Tabrani (Dosen Seni Rupa ITB), Dr. Ignas Kleden, Dr. Lilawati Kurnia dan Prof.Dr. Toeti Herati Noerhadi. Kecintaannya kepada komik ini selain mengantarnya mendapat gelar doktor juga memberi sumbangan kekayaan dalam menulis cerita. Hal ini tampak pada beberapa karyanya, tak terkecuali Kalatidha ini.
Putaran pertama mengubah busana pasien rumah sakit jiwanya dengan busana seorang perempuan pendekar berbaju pangsi dan celana tiga per empat gombrong yang terbayangkan akan mampu melenting dari genting ke genting. Putaran kedua memberikan cahaya dan daya ke dalam tubuhnya sehingga segenap luka serta segala dampak keteraniayaannya di rumah sakit jiwa bagaikan sama sekali tiada berbekas. Putaran ketiga mendandaninya menjadi perempuan indah tiada tara dengan ikat kepala yang merapikan rambut panjang ikal mayangnya, selendang terikat di pinggang yang menunjukkan kelangsingan dan kerampingan tubuh perkasanya, lengkap dengan alas kaki yang terikat tali temali kulit melingkar dan menghiasi betis terindah yang pernah kulihat. Putaran keempat memberinya perlengkapan sejumlah senjata yang melekat dengan segala warangka di tubuhnya, mulai dari dua pedang panjang yang saling bersilang di punggung, dua belas pisau terbang dalam sabuk, yang melingkari pinggang, dua bilah kapak tergantung di pinggang kiri dan kanan.
(Kalatidha, 2007, halaman 105-106)
Deskripsi di atas tak pelak mengingatkan kita kepada pendekar wanita kreasi Djair, Jan Mintaraga, Ganes Th, dan Hans Jaladara. Deskripsi di atas diikuti serangkaian sepak terjang indah si pendekar wanita dalam membunuh ratusan peleceh kemanusiaan, yang sungguh mampu membangkitkan kenangan indah kita kepada zaman keemasan komik asli Indonesia.
Akan halnya citra tokoh utama dalam cerita ini, seperti digambarkan dalam kutipan di atas, sungguh elok. Seperti kita ketahui, sebagian besar wanita dalam karya SGA memang indah, misalnya Linguae, Dunia Sukab, Sepotong Senja untuk Pacarku, dan Sebuah Pertanyaan untuk Cinta. Anggapan ini didukung pengakuan SGA.
Penamaan tokoh maupun seting sesederhana citra tokoh di atas. Nama tokoh utama maupun pendukung utama tidak disebutkan. Cukup ‘aku’, ‘gadis kecil’, dan ‘perempuan gila’. Tokoh yang bernama adalah tokoh pembantu atau beberapa tokoh yang porsi perannya relatif kecil, misalnya Joni si Malin Kundang, Ranuwisid, Bu Haroen, Bu Sam, dan Si Puss. Seting tempat demikian juga, seperti kutipan berikut ini.
Di barat daya kota S terdapatlah daerah P. Nama ini berasal dari kata F, tuan tanah Belanda penguasa wilayah itu di masa lalu. Di seberang P terdapat hamparan ladang pertanian, di antara P dan ladang ini terdapatlah M, wilayah yang dimaksudkan sebagai pembatas nan rapi, tetapi setelah ditinggalkan Belanda menjadi daerah tak bertuan. Ke wilayah itulah berdatangan para pendatang dan berubahlah M yang berkelok memanjang itu menjadi padat tak terkendali.
Semasa kecil aku tinggal di P dan sungai yang memisahkan P dan M menjadi wilayah pengembaraanku.
........
(Kalatidha, 2007, halaman 9-10)
Bagian pemaparan seting tersebut sebenarnya sangat penting, karena dengan penyebutan nama seting yang lebih spesifik, pembaca dapat lebih membayangkan detail seting. Tetapi, begitulah, di tangan SGA penamaan hanya disingkat sedemikian rupa. Penyepelean nama ini diakui SGA dalam catatannya tentang Dunia Sukab, 2001, “Padahal dalam fiksi pun Sukab bukanlah nama seorang tokoh. Sukab hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekadar karena saya malas “mengarang”, menyesuai-nyesuaikan nama dengan karakter tokoh supaya meyakinkan dan lain sebagainya. Setiap kali saya kesulitan mencari nama, saya pasang saja nama Sukab. “Toh, sama-sama fiktif ini,” pikir saya, “kenapa harus susah-susah cari nama?”
...............
Tapi apalah artinya sebuah nama? Judul-judul, nama-nama, kata-kata, semuanya berbaur dalam berbagai peristiwa, membentuk dunia kita.......”
Memang, berdasar sedikit ulasan di atas tampak bahwa Seno Gumira Ajidarma dalam Kalatidha kurang tekun untuk menggarap sisi fungsionalitas alur, seting, dan penokohan. Sehubungan dengan alur, seperti karya SGA yang lain, Linguae, misalnya, dia tidak memilih resep pada umumnya penulis prosa yang memulai cerita dengan elemen pengerut kening dan mengakhiri dengan jurus penggedor hati. Meskipun demikian, Kalatidha tidak lantas menjadi karya sastra masygul karena punya pelunasan di dimensi lain. Andalan tersebut kembali ke jatidiri Seno yang petualang, wartawan, fotografer, kritikus film, dan dosen. Karena unsur pembentuk Seno cukup variatif, karyanya pun demikian. Variasi unsur pembentuk tersebut menghasilkan keelokan gaya cerita, kekayaan bahan tulisan, dan pertanggungjawaban ilmiah. Berbekal, minimal, tiga kepiawaian di atas, tema umum yang dipilih dalam Kalatidha, kemanusiaan, tersajikan.
Banyak pengamat berpendapat bahwa gaya bercerita SGA sangat elok. Keelokan ini membentuk sebuah lanskap yang di dalamnya terdapat berbagai suasana hati, situasi, dan misi yang masing-masing memiliki keelokan yang khas. Dengan kata lain, keelokan itu bisa menggelikan, menyedihkan, mengesankan, menggelisahkan, meromantiskan, atau memualkan. Seperti karya-karyanya yang lain, Kalatidha menunjukkan keelokan itu. Banyak bagian cerita tersaji dengan puitis, kontemplatif, dan mengendap di dalam, misalnya pada bagian ‘Kabut di Hutan Bambu’, ‘Masih Sekitar Hutan Bambu’, ‘Pawai Cahaya’, ‘Negeri Cahaya’, dan ‘Sang Mata di Tepi Pantai’. Berikut sedikit kutipan dari bagian ‘Kabut di Hutan Bambu’.
Pada mulanya memang kabut, masih akan selalu kabut, dan sebaiknya memang tetap saja kabut, kabut, dan kabut, yang kekelabuannya tiada pernah dan tiada perlu memberikan sesuatu yang jelas. Apalagi yang menarik dari hidup ini jika segala sesuatu sudah begitu jelas dan begitu pasti? Aku adalah anak kabut, dilahirkan oleh kabut, hidup di dalam kabut, dan atas nama kabut kupertaruhkan hidup dan matiku, pahit dan manisku, suka dan dukaku, kebahagiaan dan kepahitanku, kehidupan dan kematianku dalam segala kemungkinan yang telah diciptakan Tuhan untuk dijelajahi olehku. Kabut adalah duniaku – dalam kabut itulah aku mengembara dan menjelajahi seribu satu kemungkinanku.
(Kalatidha, 2007, halaman 2)
Potret tentang kabut yang mengingatkan kita kepada Al Quran 41:11 dan Perjanjian Lama, Kitab Kejadian ayat 2, tersaji penuh kontemplatif. Bersandar pada kabut dia memercikkan permenungan yang masuk pada dimensi religiositas tentang hidup. Hidup jadi indah karena mengandung suspense berwarna abu-abu. Tidak putih, tidak hitam, tetapi ketegangan di antara keduanya. Permenungan ini mirip dengan, “Saya sendiri tidak tahu apakah salat saya yang notabene menyembah Allah itu diterima atau tidak. Puasa saya apakah diterima atau tidak. Justru keindahan beragama itu ada pada ketiadaan kepastian bahwa ibadah kita diterima atau tidak.” (Mohamad Sobary, Jaringan Islam Liberal 2006)
Kepiawaian untuk memberi roh pada objek itu dipadu dengan keelokan lain yang lebih ekspresif dan liar, misalnya pada bagian ‘Catatan Joni Gila 1’, ‘Catatan Joni Gila 2’, dan ‘Catatan Joni Gila 3’. Berikut sedikit kutipan yang menguatkan anggapan di atas.
Kulihat tembok putih. Apakah aku hanya mengira melihat perempuan yang membalas dendam itu, ataukah ia memang benar-benar telah kulihat tetapi segera melenyapkan diri? Kalau sudah begini kadang-kadang aku merasa diriku benar-benar gila. Terlalu banyak yang kulihat dan terlalu banyak yang kudengar dan tidak bisa kupastikan apakah itu semua bayanganku saja ataukah memang nyata. Belut goreng. Namun meski cuma bayangan aku bisa merasa tergila-gila kepada perempuan yang kubayangkan tampak begitu indah terbang di udara malam seperti kelelawar, yang hanya turun untuk mencabut nyawa orang sebagai hukuman. Orang gila sibuk dengan pikirannya sendiri dan hidup di dunianya sendiri? Gooooooooooollllllllllll! Gooolll! Ning-nong-ning-ning!
(Kalatidha, 2007, halaman 149)
Gaya cenderung semau gue tersebut muncul karena tuntutan situasi kegilaan. Pada bagian lain keelokan berubah total sesuai tuntutan situasional, misalnya pada bagian ‘Utopia Ketiadaan’.
Tiada kutemukan diriku yang terleburkan dalam cahaya – hanya gagasan tinggal bertahan dalam belantara impian yang tiada pernah terlepaskan. Gagasanku pecah, tersebar ke segala arah, seperti materi yang meledak jadi semesta, gagasan yang meledak dalam kesunyian, dan segala serpihan berubah jadi gambaran. Beterbangan dan melayang, segenap semesta penuh sesak dengan angan-angan. Wajah-wajah yang kukenal, wajah-wajah yang tak kukenal, makhluk-makhluk yang kukenal, makhluk-makhluk yang tak kukenal, orang-orang yang masih hidup, orang-orang yang sudah mati, arwah-arwah tanpa ujud, suara-suara, hanya suara-suara, bunyi-bunyi, dan bunyi-bunyi lagi, tenggelam dalam kesunyian...
(Kalatidha, 2007, halaman 177)
Gaya eksposisi diri yang puitis di atas atmosfernya mirip paparan suluk di jagat pedalangan. Hal ini dimungkinkan karena, meskipun sering menulis tentang metropolitan dan dunia lux, wawasan pewayangannya cukup kaya. Kebetulan juga SGA sangat mengidolakan R.A, Kosasih, kreator komik spesialis wayang. Gaya ini mengingatkan kita kepada cerpennya ‘Ngesti Kurawa’ dalam Manusia Kamar, 1988.
Dari sisi kandungan makna, kutipan paragraf di atas sungguh bernas. Mau tak mau, untuk menggali makna, kita akan terhubung ke "Apakah orang-orang yang tidak beriman itu tiada mengetahui, bahwa langit dan bumi itu dahulunya satu potong, lalu kami ceraikan antara keduanya, dan Kami jadikan dari air segala benda hidup. Tidakkah mereka percaya?" (Al Quran 21:30). Firman ini ‘kebetulan’ sesuai dengan Big Bang Theory yang popular di kalangan astronom modern tentang terjadinya bumi dan jagat raya.
Khasanah bahan penciptaan novel ini sangat kaya. Selain sedikit kutipan di atas, bahan pembentuk novel yang lain tampak dari banyaknya surat kabar lama, tuturan narasumber mantan tahanan dari Pulau Buru, nuansa komik, lagu Chuck Berry, potret seting yang apik, dan lukisan Kematian Marat karya Jacques-Louis David.
Meskipun bahan penulisan sangat kaya, meskipun karya fiksi, pertanggungjawaban ilmiahnya sangat baik. Banyak karya SGA (pada umumnya cerpen) disertai dengan footnote, meskipun kutipannya hanya sebatas objek kecil, kalimat, klausa, maupun frase. Pertanggungjawaban ilmiah ini juga tampak sekali pada Kalatidha: nama pemberi ide cerita dituliskan, koran-koran dikutipkan teks aslinya, lukisan Kematian Marat karya Jacques-Louis David, lagu Johnny B. Goode-nya Chuck Berry, dan biografi Chuck Berry dicantumkan dalam lampiran. Alternatif kreatif sastra semacam ini sangat langka di Indonesia. Kenyataan ini tidak lepas dari sosok Seno Gumira Ajidarma yang berprofesi sebagai dosen.
Sebagai kritikus film, referensi filmya sangat kaya, ada beberapa adegan yang mengingatkan kita kepada beberapa film, misalnya film musikalnya Alan Parker, The Wall dan Dead Poets Society-nya Peter Weir. Adegan ‘tokoh aku’ ketika di kelas menggambar palu arit kebetulan mirip dengan adegan dalam The Wall, seorang anak yang dipukul tangannya oleh gurunya gara-gara saat pelajaran malah menulis puisi. Tetapi kalau dianggap adegan dalam Kalatidha merupakan jiplakan film bernas tersebut memang terlalu serampangan, karena track record SGA saat sekolah – sebelum film itu dibuat -- memang sangat anti kejumudan, penyeragaman, dan kekakuan. Mungkin lebih tepat dikatakan, referensi, karakter diri, dan ilham merupakan silang sengkarut mozaik pewarna karya.
Sungguh, seperti Keating dalam Dead Poets Society yang menyuruh murid-muridnya menyobek ‘Introduction of Literature’ Pritchard yang analitis matematis, dan melemparkan sobekan-sobekan tersebut ke keranjang sampah, demikian juga adanya menghadapi Kalatidha. Berbekal pisau bedah analisis prosa saja, akan pejal. Seperti kita mafhum, kepejalan pisau bedah ini telah membebaskan karya sastra dari kemurungan, dan membebaskannya terbang sebagai karya sastra.*** (April 2008, Bengkel Panama SMP 5 Jogja, edi purnomo hudoyo)
Daftar Pustaka
Alkitab,
Alquran dan Terjemahannya. 1994. Jakarta: Departemen Agama RI.
Ajidarma, Seno Gumira. 1988. Manusia Kamar. Jakarta: CV Haji Masagung.
------------------------- . 2001. Dunia Sukab. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
------------------------- . 2002. Sebuah Pertanyaan untuk Cinta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2002. Sepotong Senja untuk Pacarku. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2002. Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong: 1996-1999.
Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia.
------------------------- (ed). 2003. Dua Kelamin bagi Midin. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
------------------------- . 2004. “Aku Kesepian, Sayang” “Datanglah, Menjelang Kematian”. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2007. Kalatidha. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2007. Linguae. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Eneste, Pamusuk (ed). 1982. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta:
PT Gramedia.
Mohamad, Goenawan. 2007. Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai. Jakarta: Katakita.
Nurhan, Kenedi (ed). 1999. Derabat. Jakarta: Harian Kompas.
Panama, April 2008, SMP 5 Yogyakarta.
Purwadi (et al.). 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Bina Media.
Pusat Data dan Analisa Tempo. 2004.
Sobary, Mohamad. 2006. Iman Itu untuk Manusia, bukan Sebaliknya. Jakarta: Jaringan Islam Liberal.
Sudjiman, Panuti (ed). 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Sumukti, Tuti. 2005. Semar: Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta: Galangpress.