Sabtu, 04 Juli 2009

Komik Indonesia

Apakah komik Indonesia sudah merdeka?
Belum.
Komik Indonesia masih di bawah cengkeram dominasi manga. Penjajahan manga ke dalam selera komik bangsa Indonesia sungguh sangat dahsyat. Kedahsyatan ini dikarenakan wabah manga terutama menyerang anak-anak dan remaja. Kalau sejak anak-anak sudah terdoktrin bahwa seni komik yang bagus itu adalah manga, maka sampai tua orang tersebut akan menganggap bahwa yang namanya komik itu adalah manga. Komik itu berarti gambar manusia yang matanya besar, bulu mata lentik, hidung mancung, pipi ranum, badannya tinggi, ramping, pakaian modis, dan kalau menangis air matanya seperti air terjun, Pokoknya gambaran khayal tentang hiperbolisme sosok manusia sempurna. Sekilas tokoh dalam manga lebih menyerupai gambaran orang Eropa atau Amerika. Padahal, ternyata, konon, manga merupakan perwujudan hiperbolisme gambaran khayal orang Jepang yang sebenarnya pada umumnya bermata sipit, hidung relatif tidak mancung, dan badan pendek.
Mengapa manga mampu merebak sedemikian rupa? Banyak faktor penyebab, beberapa di antaranya adalah teknologi, budaya instan, dan kepentingan dagang. Teknologi multimedia yang notabene didominasi Jepang mampu mengangkat citra komik Jepang. Dengan kata lain, satu judul komik Jepang sering diiringi dengan dukungan film kartun dengan judul sama. Akan halnya filusufi budaya instan, hal ini sebenarnya entah kebetulan atau tidak sudah diwakili dengan sosok Nobita dan kantong ajaib Dora Emon. Semua serba ingin cepat, mudah, dan tidak memedulikan keterampilan proses. Manga pun demikian. Karakter maupun corak gambar manga relatif sama, karena sejak kecil pengarang hanya disuguhi gambar komik jenis manga, sehingga ketika menggambar komik juga akan meniru yang sudah ada. Padahal kalau tidak dicekoki gambar manga tersebut, mungkin anak tersebut dapat melukis dengan gaya orisinalnya yang jauh lebih dahsyat dibanding pengarang sebelumnya. Sedangkan dari sisi bisnis, jelas penerbit akan lebih memilih menerbitkan komik yang relatif tidak mengandung risiko rugi, yaitu komik terjemahan. Penerbit tinggal membeli hak terjemahan dan penerbitan karya yang sudah terkenal.
Ada memang beberapa pengarang Indonesia yang berani melawan monotonisme seni komik ini. Mereka menginginkan karya komik yang variatif dan orisinal, tidak hanya meniru model dan bentuk yang sudah ada. Tetapi perjuangan mereka sifatnya masih gerilya. Perlawanan model gerilya ini dimungkinkan karena kalau melawan secara frontal akan hancur dilumat selera bangsa Indonesia yang sudah terdoktrin kepada aliran manga. Selain itu, sungguh sangat sedikit penerbit yang mau menerbitkannya. Penerbit lebih suka mengimpor komik Jepang dan tidak menanggung risiko tidak laku. Perkara seni komik Indonesia tidak berkembang dan tidak variatif, itu buka urusan mereka.
Manga masuk dan mewabah di Indonesia awal 1990-an. Sebelumnya komik Indonesia tuan rumah di negara sendiri. Sebelum tahun 1990 komik yang tersedia di toko buku baru maupun loak dan persewaan buku mayoritas komik asli Indonesia dan sedikit komik Eropa dan Amerika Serikat. Komik Jepang tidak ada. Anak-anak, remaja, dan dewasa sangat akrab dengan tokoh-tokoh komik asli Indonesia.
Kurun sebelum 1990 komik Indonesia benar-benar merdeka. Merdeka dalam artian bebas dalam berkarya. Pembaca pun sangat senang menerima karya-karya mereka. Komik Indonesia pada zaman tersebut sangat variatif. Masing-masing pengarang memiliki ciri khas, baik dalam gaya cerita maupun gambar. Sebagai contoh, corak lukisan Ganes Th dibandingkan dengan Teguh Santosa maupun Hans Jaladara sangat berbeda. Demikian juga dengan gaya bercerita.
Sekadar penambah spirit berkesenian komik, berikut gambaran tentang sekelumit kilas balik seni perkomikan Indonesia.

- 1930-an
Kho Wan Gie (lahir 1908 - wafat Mei 1983) adalah seorang komikus generasi pertama Indonesia yang karyanya mulai diterbitkan pada tahun 1929. Nama "Put" untuk pertama kali terbit Januari 1931. Karya awalnya, strip komik berjudul "Si Put On" adalah salah satu komik pertama di Indonesia dan menjadi pelopor komik-komik humor di Indonesia. "Put On" bercerita tentang seorang pria bujangan gendut dari kelas menengah yang lugu dan konyol yang tinggal bersama ibunya ("Nek") dan dua adiknya, "Tong" dan "Peng". Kadang-kadang muncul pula teman baiknya, "A Liuk", "A Kong" (wakil dari kaum totok), "O Tek" (wakil dari Tionghoa Belanda). Meskipun kisah-kisah "Si Put On" menggambarkan suasana masyarakat peranakan Tionghoa di Jakarta, nama "Put On" sendiri diambil dari bahasa Inggris atas saran direktur Sin Po saat itu, Aung Jan Goan.
Komik ini terbit pertama kali pada tahun Agustus 1931 di harian Sin Po dan terus terbit selama 30 tahun meskipun sempat terhenti pada masa pendudukan Jepang dari 1942 hingga 1946. "Si Put On" terakhir terbit dalam media majalah Pantjawarna dan Harian Warta Bhakti. Kedua penerbitan ini dikenal beraliran kiri. Sejak peristiwa G30S, kedua media itu berhenti terbit, dan "Si Put On" pun tenggelam bersamanya.
Setelah lama absen, Kho Wan Gie muncul lagi dengan menggunakan nama samaran "Sopoiku", yang artinya tidak lain "Siapa Itu". Dengan nama ini ia kembali menegaskan keberadaannya dalam dunia komik Indonesia.
Karyanya Sopoiku antara lain diberi judul dan seri "Nona A Go-Go", "Lemot dan Obud", "Agen Rahasia 013 (Bolong jilu)", "Dalip dan Dolop", "Djali Tokcer".

Kho Wan Gie pun tampil di Majalah Ria Film (dengan tokoh si Pengky), Varia Nada, dan Ria Remaja.

- 1940 – 1960-an
Sekitar akhir tahun 1940an, banyak komik Amerika yang disisipkan sebagai suplemen mingguan suratkabar. Di antaranya adalah komik seperti Tarzan, Rip Kirby, Phantom and Johnny Hazard. Kemudian penerbit seperti Gapura dan Keng Po dari Jakarta, dan Perfects dari Malang, mengumpulkannya menjadi sebuah buku komik. Di tengah-tengah membanjirnya komik-komik asing, hadir Siaw Tik Kwei, salah seorang komikus terdepan, yang memiliki teknik dan keterampilan tinggi dalam menggambar mendapatkan kesempatan untuk menampilkan komik adapatasinya dari legenda pahlawan Tiongkok ‘Sie Djin Koei’. Komik ini berhasil melampaui popularitas Tarzan di kalangan pembaca lokal. Di awal tahun 1950-an, salah satu pionir komik bernama Abdulsalam menerbitkan komik strip heroiknya di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, salah satunya berjudul “Kisah Pendudukan Jogja”, bercerita tentang agresi militer Belanda ke atas kota Yogyakarta. Komik ini kemudian dibukukan oleh harian Pikiran Rakyat dari Bandung. Sebagian pengamat komik berpendapat bahwa inilah buku komik pertama-tama oleh artis komik Indonesia.

- 1960 – 1980-an
Adapatasi dari komik asing dalam komik Indonesia mendapatkan tentangan dan kritikan dari kalangan pendidik dan pengkritik budaya. Karena itu penerbit seperti Melodi dari Bandung dan Keng Po dari Jakarta mencari orientasi baru dengan melihat kembali kepada khazanah kebudayaan nasional. Sebagai hasil pencarian itu maka cerita-cerita yang diambil dari wayang Sunda dan Jawa menjadi tema-tema prioritas dalam penerbitan komik selanjutnya. R.A. Kosasih adalah salah seorang komikus yang terkenal keberhasilannya membawa epik Mahabharata dari wayang ke dalam media buku komik. Sementara itu dari Sumatra, terutamanya di kota Medan, terdapat pionir-pionir komikus berketerampilan tinggi seperto Taguan Hardjo, Djas, dan Zam Nuldyn, yang menyumbangkan estetika dan nilai filosofi ke dalam seni komik. Di bawah penerbitan Casso and Harris, artis-artis komik ini mengeksplorasi cerita rakyat Sumatra yang kemudian menjadi tema komik yang sangat digemari dari tahun 1960an hingga 1970an.
Banyak dipengaruhi komik-komik dengan gaya Amerika, Eropa, dan Tiongkok. Sebagian besar memanfaatkan majalah dan koran sebagai medianya, meskipun beberapa karya seperti Majapahit oleh R.A. Kosasih juga mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam bentuk buku.
Tema yang banyak muncul adalah silat, pewayangan, cinta, superhero, dan humor-kritik.
Zaman ini bisa disebut sebagai zaman keemasan komik Indonesia. Pada zaman ini muncul seniman komik yang benar-benar melegenda. Karya-karya mereka diburu kolektor meskipun harganya menjadi sangat mahal. Di antara dari mereka adalah Ganes Th, Hans Jaladara, Djair, Teguh Santosa, Jan Mintaraga, R.A. Kosasih, Hasmi, Wied NS, Gerdi WK, Delsy Syamsumar, Sim, dan Zaldy. Pada zaman ini pihak sekolah sering kerepotan karena siswa banyak yang membawa komik karya pengarang-pengarang tersebut ke sekolah (selain novel silat stensil karya Kho Ping Ho dari Yogyakarta), sehingga sering diadakan razia komik. Razia ini membuat komik menjadi karya seni yang cenderung dianggap negatif.
Berikut adalah sedikit gambaran tentang beberapa komikus dan karya mereka.

- Ganes Th.
Ganes Th. (1935-1995) adalah komikus Indonesia yang sangat terkenal. Ia merupakan salah satu tonggak kejayaan komik Indonesia. Kisah dalam komik-komiknya begitu memikat hati pembaca komik Indonesia di era tahun 1970 sampai 1980-an. Murid dari Siaw Tik Kwie ini memiliki kelebihan dalam hal mengembangkan karakter tokoh, menjalin alur, menyuguhkan atmosfer kedaerahan, dan lukisannya memang bernilai seni tinggi.

Ganes Th. menciptakan tokoh Si Buta Dari Goa Hantu yang menjadi trade mark-nya dan merupakan tokoh komik lokal yang paling popular sepanjang masa. Komik Si Buta Dari Goa Hantu adalah komik silat Indonesia pertama. Terbitan perdananya langsung meledak sehingga komik Indonesia seperti dilanda demam silat sehingga banyak komikus lain yang mengekor di belakang kesuksesan Si Buta Dari Goa Hantu. Kabarnya komik seri ini dicetak hingga ratusan ribu eksemplar. Serial Si Buta dari Goa Hantu karya ciptaannya tidak akan pernah dilupakan orang. Petualangan Si Buta mulai dari Jawa Barat, Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah menunjukkan pengetahuannya yang luas dan kecintaan kepada tanah air yang begitu dalam. Selain Si Buta dari Goa Hantu, judul komik lainnya yang juga sukses adalah Tuan Tanah Kedawung, Jampang, Taufan, dan Rio Anak Serigala (murid si Buta).

- Jan Mintaraga
Komikus yang paling western style. Memakai nama lengkap Jan Mintaraga. Coretannya selevel komikus-komikus kelas satu Amerika. Setiap frame dalam komiknya seperti sebuah suguhan karya seni lukis tersendiri. Kalau pada umumnya pengarang komik terfokus pada gambar tokohnya saja, Jan tidak demikian. Tata artistik dan seting di dalam masing-masing frame diperhatikan seksama dan digarap secara serius, misalnya ornamen, corak batik, dan ukiran pada pintu maupun pilar. Karya monumentalnya, Sebuah Noda Hitam. Komik ini lebih tepat disebut novel-komik karena bagusnya alur cerita dan gaya lukisnya yang sudah menggunakan teknik tingkat tinggi.
Salah satu gambaran tokoh komiknya yang sangat terkenal adalah sosok pemuda mengenakan jins, sepatu kets, menggelantung jaket di pundaknya dengan wajah yang kumuh bak Kota Jakarta. Itulah ciri khas goretan Jan Mintaraga dalam komik-komik "roman Jakarta"—demikianlah julukan "genre" komik karya Jan Mintaraga, Sim, dan Zaldy. "Dia mampu menangkap semangat zaman," tutur Seno Gumira Ajidarma.
Jan lahir di Yogyakarta pada 1942, belajar di bawah bimbingan komikus R.A. Kosasih dan Ardisoma. Dengan guru yang lebih dikenal sebagai komikus wayang, Jan malah lebih terkenal sebagai komikus roman remaja. Bahkan komiknya agak kebarat-baratan.
"Komik saya terilhami lagu-lagu Bob Dylan," tutur Jan mengakui. Ia selalu mengambil seting Kota Jakarta, metropolitan, kehidupan anak-anak orang kaya dengan segala problema cintanya. Tapi ia juga sempat membuat beberapa komik silat yang juga sukses seperti Indra Bayu, Runtuhnya Pualam Putih, Kelelawar, Puri Iblis, Runtuhnya Puri Iblis, Misteri Tertangkap Jin, Macan Putih, dan Sepasang Gelang Mustika. Tapi tokoh ciptaannya yang terkenal, Rio Purbaya, dalam Sebuah Noda Hitam, yang laris pada awal 1970-an. "Untuk Jakarta saja, menurut penerbitnya, terjual 20 ribu eksemplar dan menjadi box office," ujar Jan, yang pernah mengenyam bangku Seni Rupa ITB dan Insitut Seni Indonesia di Yogyakarta. Saking popularnya komik itu, aktor Roy Marten, yang pernah ngetop pada masa itu, mengaku terilhami tokoh Rio setelah melahap habis komik itu. Roy bahkan sampai berpenampilan sama dengan Rio, kemeja kotak-kotak biru, dan celana jeans belel.
Pada 1970-an, untuk komik setebal 48 halaman, honor Jan adalah Rp 200 ribu. Sebagai gambaran, harga emas waktu itu Rp 250 per gram, jadi bisa dibayangkan betapa jayanya kehidupan komikus yang sukses di zamannya.
Menjelang meninggal Jan Mintaraga masih bekerja di Dunia Fantasi, Ancol, memimpin pelukisan wahana Rama dan Shinta era futuristik.

- Hans Jaladara
Dalam diam, pendekar itu menyeret peti mati yang berisi jenazah seorang perempuan. Ia membawanya ke pusat keramaian maupun ke sudut-sudut sepi. Pendekar berbadan kurus itu bernama Panji Tengkorak. Siapa perempuan dalam peti itu? Dia adalah Mesia, istri yang tidak dicintainya. Panji menyeret peti itu karena sebuah ikatan janji. Naif? Absurd? Entah, tapi adegan tersebut mampu menggetarkan para pembaca komik Hans Jaladara.
Karakter Panji Tengkorak yang antihero tersebut, menurut Hans Jaladara—bernama asli Hans Riyanto—sebetulnya tampil justru "bukan dari segi keperkasaannya," ujar Hans. Bahkan, menurut Seno Gumira Ajidarma, sastrawan alumnus SMP 5 Yogyakarta yang mengaku penggemar berat Panji Tengkorak, ini bukanlah sebuah komik silat melainkan sebuah drama cinta yang tragis. Tak mengherankan bila dari satu jilid ke jilid yang lain, Panji digambarkan berhati lemah dan gampang jatuh ke dalam kendali tangan perempuan. Menurut Hans, yang lahir di Yogyakarta 62 tahun lalu, petualangan dan filusufi hidup Panji lahir dari perbincangan dengan teman-temannya. Selain Panji Tengkorak, dari tangan Hans juga muncul komik Belibis Putih, Walet Merah, Si Rase Terbang, dan Dian Boma, yang tak kalah populer.
Dunia komik memang sudah menarik minat Hans sejak kecil. Anak kedua dari tiga bersaudara putra Linggodito ini masih ingat dirinya melonjak kegirangan ketika diberi hadiah komik Jepang dan Amerika oleh sang ayah pada hari ulang tahunnya yang kedelapan. Sejak itu ia makin gemar corat-coret. Bahkan, satu hari ia pernah mengerjakan semua tugas menggambar temannya di sekolah sampai lupa menggambar untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, ketika dewasa, untuk mengasah bakat seninya, Hans belajar di Sekolah Seni Rupa Nasional.
Pilihan Hans untuk menggeluti komik tak sia-sia. Selain ia beroleh penghasilan yang lumayan—setara dengan gaji pegawai negeri menengah—karya komiknya juga diangkat ke layar lebar. Walaupun tidak menjadi kaya, dari hasil tabungannya Hans mampu membeli mobil dan rumah dengan kredit. Pada 1979, Panji Tengkorak dihargai Rp 500 ribu oleh produser.

- R.A. Kosasih
Dari tangannya yang keriput, sejarah pewayangan bergerak dan menjadi gambar hidup. Hastinapura, Indraprasta, Dursasana yang durjana, Drupadi yang setia, Yudhistira yang sabar, Srikandi yang perkasa, dan nasib Bambang Ekalaya yang tragis. R.A. Kosasih, yang kini menginjak usianya yang ke-80 tahun, mungkin orang yang patut berbahagia di negeri ini. Sebab, melalui karya-karyanya ia bukan saja telah memperkenalkan wayang kepada masyarakat Indonesia—non-Jawa—tetapi ia juga telah memasyarakatkan tokoh-tokoh dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Tapi Kosasih adalah sebuah kesederhanaan. Dia pasti tak tahu bahwa pengagumnya berderet, mulai dari Sardono W. Kusumo, Arswendo Atmowiloto, Umar Kayam, Marsilam Simanjuntak, hingga kartunis G.M. Sudarta, dan juga ribuan atau mungkin jutaan pembaca komiknya di seantero Indonesia (Tempo, 21 Desember 1991).
Lahir di Desa Bondongan, Bogor, Jawa Barat, Kosasih adalah putra bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan Raden Wiradikusuma. Diawali dari mengamati bungkusan sayur yang berisi potongan kartun Tarzan, Kosasih yang gemar nonton wayang golek itu sering mencoba melukis kartun, yang kemudian diberikan kepada tetangganya.
Tahun 1939 ia mulai melukis ilustrasi untuk buku-buku keluaran Departemen Pertanian Bogor. Debutnya sebagai pengarang komik dimulai pada 1953. Lulusan HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Pasundan itu memulai serial pertamanya Sri Asih, yang dicetak 3.000 eksemplar dan habis licin tandas. Setelah itu, Siti Gahara, Sri dewi, serial Mahabharata, Ramayana, dan... sejarah pun bergulir.
Kini, dalam usianya yang ke-90, jari-jarinya yang gemetar itu hanya sanggup memegang dan menikmati komik impor Jepang milik cucunya. Perjalanan usia—dan menurunnya produktivitas—membuat namanya meredup. Namun itu bukan satu-satunya sebab: komik Indonesia memang tidak terus-terusan berjaya. Kosasih mengaku, minat pembeli terhadap komik wayang mulai menurun selepas tahun 1980-an, bersamaan dengan banjirnya komik impor—Jepang terutama. Sejak 1993, Kosasih tak pernah lagi menyentuh pen dan tinta. Kini ia tinggal di kawasan Rempoa, Jakarta Selatan. Di lantai atas rumah itu, di sebuah ruang berukuran 5 x 20 meter, Kosasih dan istrinya menjalani hari-hari dengan tenang. Di sudut ruangan, ia menyimpan semua peralatan gambarnya dengan rapi untuk kenang-kenangan.
Untuk menunjang hidup, ia masih memperoleh royalti sekadarnya dari komik Mahabharata yang dicetak ulang penerbit Gramedia.

- Djair
Komikus ini tergolong komikus otodidak. Karyanya yang paling terkenal adalah Jaka Sembung, Djaka Gledek, Si Tolol, Kiamat Kandang Haur, Malaikat Bayangan, dan Toan Anak Jin. Ia sudah membuat komik sejak masih remaja. Padahal, dulu ayahnya menaruh harapan supaya Djair menjadi insinyur. "Waktu itu saya sering dimarahi Ayah karena lebih senang membuat komik daripada belajar. Akhirnya saya mencuri-curi kesempatan," tutur Djair. Ia menggemari karya-karya Ganes Th. (Si Buta dari Goa Hantu), Jan Mintaraga (Rio Purbaya), dan Hans Jaladara (Panji Tengkorak).
Mungkin karena itulah komik-komik Djair juga terpengaruh dari komikus yang dikaguminya; ia cenderung mengisahkan pengembaraan seorang pendekar dalam menegakkan kebenaran. Kisah pengembaraan para pendekar yang dianggap pahlawan itu lengkap dibumbui cerita kehidupan sehari-harinya, sehingga terasa membumi. Lihat saja Jaka Sembung. Berbeda dengan tokoh hero seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Panji Tengkorak yang selalu berkawan dengan sunyi, Jaka Sembung justru digambarkan sebagai tokoh yang sudah berkeluarga. Atribut yang digunakan Jaka juga tidak seperti Si Buta, yang berpakaian kulit ular, melainkan baju biasa berlilit sarung. Begitu populernya hingga kisah Jaka Sembung itu sempat diangkat ke layar lebar dengan bintang Barry Prima.
Pada masa jayanya, penghasilan yang diperolehnya cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Maklum, untuk satu cerita—terdiri dari 7 sampai 10 jilid—ia memperoleh Rp 100 ribu, yang merupakan angka yang tinggi untuk ukuran tahun 1960-an. Sayang, zaman keemasannya sulit terulang. Ia bahkan pesimistis, komik Indonesia bakal bangkit kembali. Soalnya, "Sekarang sudah ada televisi, bioskop, mal, dan videogame. Anak-anak sudah terbiasa dicekoki komik terjemahan dari luar negeri," kata Djair.
Demikianlah sekelumit flashback kejayaan komik Indonesia. Kilas balik tersebut diharapkan dapat menggugah semangat berkesenian yang orisinal, seperti yang sekarang ditunjukkan oleh Ahmad Thoriq dengan Carok dan Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad dengan Benny and Mice. Atau mau ikut berjuang di bidang kesenian komik ala Apotik Komik atau Daging Tumbuh. Selamat berjuang di bidang kesenian!*** epeha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar