Rabu, 29 Juli 2009

Guru

Di dalam bilik-bilik kelas anak-anak tak berwajah duduk tegak. Mereka serempak berteriak menirukan apa yang telah dilafalkan guru mereka, “We don’t need no education! We don’t need no close control!” Selanjutnya pasukan tegak dingin ini berdiri berurutan di atas eskalator yang membawa mereka memasuki mesin pelumat raksasa.
Demikianlah sejumput adegan videoclip The Wall Pink Floyd.
Satire yang dilantunkan David Gillmour dan konco-konconya ini memang menjadi masterpiece mereka. Sebuah refleksi natural manusiawi yang gaungnya selayaknya mampu menggedor dinding-dinding kaum pemikir pendidikan.
Apa boleh buat, pendidikan – bukan persekolahan – memang paling asyik untuk dikasak-kusuki. Karena, bagaimanapun, adanya dunia seperti sekarang adalah produk pendidikan. Sehingga amat wajar jika ada yang menggerutu, “Sungguh nonsense reformasi di Indonesia ini jika tidak dimulai dari reformasi pendidikan.”
Reformasi, ya, pembentukan kembali. Hanya sayangnya kata ‘kembali’ ini sekarang menjadi bias. Kata sederhana nan indah ini menjadi rumit. Kian diotak-atik, kian ruwet. Kita pun terengah-engah tanpa tahu jalan kembali di dalam labyrinth buatan kita sendiri. Sambil terengah-engah tanpa tahu jalan pulang – atau memang tidak ingin pulang? – kadang-kadang kita berpikir, agar terampil perlu keterampilan proses, lha kok smart solution soal pilihan ganda. Katanya otonomi, lha kok penyeragaman. Katanya hanya salah satu bagian alat pendidikan, lha kok menjadi tujuan pendidikan. Katanya bangsa yang menjunjung tinggi seni budaya, tetapi seberapa besar pikiran dan dana tercurah untuk bidang ini jika dibandingkan untuk bidang yang lain. Dan masih banyak paradoksitas yang lumrah muncul dalam pemikiran. Yah, konon kabarnya eksistensi manusia berpendidikan dimulai dari daya melitnya.
Kembali, ya, kembali. Mungkin ada baiknya istirah sejenak di bawah pohon rindang di samping kali kemericik sambil menikmati kicau burung papasan dan membayangkan para guru kita dahulu, misalnya, Zoroaster, Kong Hu Chu, Budha, Mahavira, Isa, Muhammad, Sunan Kalijaga, Mohandas Gandhi, dan Ibu Theresia. Mereka adalah pendidik sejati. Meskipun terhijab oleh ruang dan waktu, plot pendidikan mereka sama: berpijak pada ketulusan, metode kesatuan antara akal, seni, kasih sayang, dengan tujuan pendidikan: ketenteraman hati dalam bingkai kemanusiaan. Sepertinya tak ada target pendidikan lain yang melebihi target tersebut. Mereka adalah agen perubahan. Di bawah pohon yang rindang, beralas rerumputan, guru dan murid-murid tak beralas kaki itu berkolaborasi. Mereka mengukir, tidak menyihir.
Perubahan tidak berarti mutant tetapi kembali menuju hakikat manusia. Kalau pendidikan hanya dipandang dari sudut industri, esok pagi para pengambil keputusan di bidang pendidikan bisa merumahkan guru. Karena pengerahan guru selama ini ternyata tidak efektif dan sekadar penghambur-hamburan. Lebih baik membuka bimbingan belajar untuk menghadapi UAN, kursus komputer, bahasa Inggris, menjahit, bengkel, dan montir, misalnya. Alokasi waktu dan dana jauh lebih sedikit dibanding sekolah formal, tetapi output keterampilannya dijamin andal. Apalagi jika semua sudah serba-cyber, murid tidak lagi membutuhkan manusia. Anak-anak cukup berinteraksi dan bercanda dengan skrup, kabel, IC, microchip, dan perangkat sejenisnya. Tak perlu kasih sayang dan apresiasi terhadap sesama.
Kalau tidak, sejarah selalu berulang. Formasi otoritas pendidikan sering salah menafsirkan kepandaian, kepiawaian, bahkan nasib sesorang. Otoritas ini pernah menyepak Thomas Alva Edison keluar dari sekolah, karena menganggap anak genius ini luar biasa dungunya. Praktis hanya tiga bulan anak ini menikmati pendidikan formal. Jadi, tidaklah terlalu mengherankan kalau Thomas kecil melakukan eksperimen sendiri. Dia menduga bahwa telur menetas karena suhu yang hangat. Dan ibunya pun kaget, anak imut ini mengerami telur ayam. Hasil dari daya melitnya, sebelum usianya menyentuh 35 tahun dia sudah kesohor. Dari kejeniusannya lahir 1.093 barang baru buat orang sezamannya.
Di Italia ‘otoritas pendidikan’ juga memakan korban. Kali itu korbannya Galileo Galilei. Ilmuwan kondang yang putus kuliah karena miskin itu dipenjarakan di rumahnya sendiri karena teorinya bertentangan dengan teori yang dianut ‘otoritas’ meskipun sekarang orang bisa membuktikan teori mana yang benar. Amatlah beralasan kalau generasi berikutnya para pelaku pendidikan membaptis ilmuwan kelahiran Pisa ini sebagai simbol pemberontakan terhadap dogma dan kekuasaan otoriter yang membelenggu kemerdekaan berpikir.
Nun jauh di belahan anak benua sana sejarah setali tiga uang. Kali itu yang tertimpa adalah Rabindranath Tagore. Semasa kanak dia menyebut sekolah sebagai “siksaan yang tak tertahankan.” Tak heran bila pada usia tiga belas tahun dia berhenti menjadi siswa dan beralih menjadi penyair, kemudian menjadi pemikir India paling kesohor hingga detik ini: orang Asia pertama yang mendapatkan hadiah Nobel untuk kesusastraan. Tahun 1924 dia berbicara di depan para guru di Tiongkok, “Sering aku hitung tahun-tahun yang harus kujalani sebelum aku memperoleh kemerdekaanku. Aku membayangkan sihir gaib yang mampu mengubahku serta-merta menjadi dewasa. Baginya, sekolah seperti ruang tunggu yang pengap, sebelum seorang anak boleh pergi setelah dianggap ‘jadi’.
Ketiga anak tersebut mungkin hanya salah tiga anak di antara miliaran anak lain yang memiliki beban psikologis sehubungan dengan pendidikan. Saat ini mungkin mereka hidup lagi di kelas kita. Mereka bertanya, menyapa, menyalami, dan matanya menebar kasih sayang. Bahkan tidak jarang kita dapat banyak pengetahuan dari mereka. Anak-anak surga menebar itu semua dengan tulus. Mereka tidak perlu teori etika dan adab yang njlimet. Cukup satu kata: ketulusan. Mereka langsung bisa menerjemahkan dan mempraktikkan. Berbekal kata sederhana ini mungkin akan kita jelang masa emas pendidikan sepeti masa lalu. Di pagi hari, di ujung gang anak-anak menanti, berebut menyalami, berebut membawakan tas, dan berebut menuntunkan sepeda onthel kita.
Kembali, di bawah pohon rindang di samping kali kemericik sambil menikmati kicau burung papasan, dunia pendidikan jadi sangat simpel. Pendidikan dalam rangka memanusiakan. Pendidikan semacam katarsis mengasyikkan untuk menuju pembebasan. Pendidikan adalah pembuka jendela bagi murid. Guru tidak sekadar membisikkan definisi hangatnya cahaya matahari. Tetapi, biarkan murid sendiri yang menghirup segarnya udara, merasakan hangatnya sinar, bahkan menerjemahkan hakikat sinar tersebut.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar