Rabu, 29 Juli 2009

Anak-anak Multimedia

Anak-anak Multimedia
(Sebuah potongan cerita yang lepas )

Dalam hidup ini
banyak hal dapat menunggu
Tidaklah demikian dengan sang anak
Kepadanya “hari esok” tak da-pat kaukatakan
Ia hanya mengerti satu perka-taan saja:
“Hari ini.”
(Gabriella Mistra)

Tak dipungkiri, puisi karya penyair Chili di atas memang mencerminkan karakter universal anak: “diktator” kecil yang manis dan imut.
Meskipun demikian kecenderungannya sekarang, demi anak orang tua bisa berbuat apa saja. Bahkan saking sayangnya, dengan alasan untuk mempersiapkan anak dalam bergulat melawan kekejaman dunia, sejak dini orang tua sudah membekali lengkap segenap sarana-prasarana plus skenarionya. Sehingga, sering tanpa sadar anak pun tercerabut dari jatidirinya. Tidak lagi seperti yang disyairkan oleh Gabriella Mistra di atas. Anak sekadar aktor dalam cerita lepas tak berjuntrung dan tak tahu mengapa harus memainkan peran tersebut.
Orang tua pun sadar sepenuhnya bahwa di era sekarang, teknologi plus asessori multimedianya merupa-kan senjata ampuh untuk menaklukkan dunia. Sehingga dengan alasan tersebut orang tua banyak yang tergopoh-gopoh memakaikan perlengkapan tersebut ke tubuh anak sebagai senjata sekaligus pertahanan yang ampuh.
Dalam konteks masya-rakat yang memang sudah total memasuki era teknologi multimedia, baik mental, sosial, mau-pun budaya hal ini tidak menjadi masalah. Tapi dalam konteks masyarakat kita yang serba nanggung dan terbata-bata dalam membaca teknologi hal ini bisa menjadi masalah jika tidak dipersiapkan pijakannya. Pijakan yang dimaksud di sini adalah mental, sosial, dan buda-yanya.
Berkaitan dengan hal tersebut mungkin layak kita sitirkan tulisan Garin Nugroho:
Mereka hidup di dunia tumpang tindih, berhadapan dengan produk dari berbagai fase yang sering tidak selesai, dari pra-modern, modern, hingga pasca-modern: Inilah anak-anak yang lahir, hidup, dan menikmati revolusi interaktif multimedia.
Pernyataan Garin terse-but sesuai dengan ungkapan banyak kalangan tentang anak kita: anak instan. Tinggal pakai. Mereka tidak dibimbing menuju keterampilan prosesnya dan tidak jelas untuk apa itu semua. Pokoknya, seusai sekolah, mengikuti les, pulang, kunci kamar, dan masuk ke dunia teknologi multimedia.
Jangan anggap remeh dunia teknologi multimedia. Di sini semua tersedia. Bahkan seisi jagat bisa terdapat di dalam dunia canggih tersebut. Dari ilmu pengetahuan, hiburan, pernik-pernik manusia, baik yang romantis maupun berdarah-darah. Dalam komputer multi-media, misalnya, anak bisa turut dalam jalinan cinta kasih, berkelit dari serangan lawan, bahkan dapat menghajar dan membunuh lawan. Bagi mereka, itu semua perkara sederhana.
Sayangnya, itu semua virtual belaka. Maya. Sebuah dunia tanpa daging, darah dan hati nurani. Akibatnya, dalam dunia yang nyata mereka bisa terperangah. Kekejaman, perkelahian, keroyokan (baca: kepe-ngecutan), dan tawuran dalam konteks yang sebenarnya ter-nyata eksesnya tidak sesederhana episode Virtual Fighter maupun Warcraft. Rasa takut, cemas, dan nyeri ternyata memang ada. Nyawa ternyata bisa melayang hanya dikarenakan perkara sangat sepele.
Lantas, apakah teknologi merupakan dosa? Tidak! Teknologi harus dikuasai. Teknologi canggih harus berada di dalam genggaman. Bukan sebaliknya, kita malah seperti anak kecil di belantara pedalaman yang melihat mobil-mobilan, terperangah, terheran-heran, mengagung-agungkan, dan ber-sujud di hadapan tuhan kecil bernama teknologi canggih. Dengan kata lain, penalarannya harus dibenahi, yaitu, ternyata, teknologi hanya merupakan salah satu alat bantu untuk meraih dunia yang manusiawi. Di sini ada hati, darah, daging, cemas, takut, kecewa, bahagia, toleransi, dan tentunya ada cinta.***
Purnomo E Hudoyo

1 komentar: