Rabu, 29 Juli 2009

Welcome to The Planet Comics

Para ahli sejarah jurnalistik mencatat bahwa 16 Februari 1896 merupakan hari kelahiran komik. Mereka juga menyatakan Richard F Outcault dari World-nya Joseph Pulitzer sebagai penciptanya, dan “Yellow Kid” yang pertama kali ditampilkan dalam edisi Minggu pagi World tersebut dianggap sebagai nenek moyang komik.
Komik “Yellow Kid” laris manis bak pisang goreng di musim penghujan sore hari. Komik ini menggambarkan seorang anak yang suka tersenyum, buruk rupa, serta merana dengan mengenakan baju malam berwarna kuning menyala dan sangat mencolok.
Sayangnya, kesuksesan “Yellow Kid” tersebut pada perkembangannya membuahkan imaji negatif masyarakat: warna kuning mencolok Yellow Kid dituduh sebagai simbol pers yang senang akan sensasi, penuh gosip, dan tidak bertanggung jawab. Dari situlah muncul istilah populer di dunia jurnalistik, yaitu “jurnalisme kuning”. Julukan jurnalisme kuning yang cenderung miring tersebut ditujukan buat media massa yang lebih suka mengekspose berita-berita sensasional dan kurang bertanggung jawab hingga kini.
Lebih merana lagi, komik juga menuai getah. Komik dianggap sebagai konsumsi yang kurang bermutu dan kurang mendidik. Hal ini dikarenakan, selain faktor di atas, pada perkembangan berikutnya komik memang mengalami suatu trend, yaitu komik romantis dengan gambar yang agak seronok. Lengkap sudah pandangan masyarakat terhadap komik.
Akan halnya di Indonesia, nada miring tersebut sangat terasa, khususnya kurun 50-an hingga 80-an. Sampai sekarang pun masih banyak orang tua yang menganggap komik sebagai konsumsi yang tidak perlu, mengkhayal, dan tidak mendidik. Bahkan pada peraturan sekolah pun terpampang jelas larangan untuk membawa komik.
Bertolak belakang dengan pemandangan di atas, nun jauh di sana, di Indonesia, sekelompok kecil masyarakat peduli komik meratap menangisi kematian komik Indonesia. Memang, sebelum era 90-an komik Indonesia menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Pembaca komik sangat akrab dengan nama-nama komikus domestik dan kurang mengenal komik asing. Sebutlah, misalnya Jan Mintaraga, Ganes Th, Teguh, Djair, Hasmi, Wid NS, dan Hans Jaladara. Dari nama-nama tersebut muncullah tokoh komik, misalnya Indra Bayu, Djaka Sembung, Gundala, Godam, dan Si Buta dari Goa Hantu. Mereka semua sekarang relatif tidak dikenal di kalangan penggemar komik. Lebih ironis lagi, jejak kesuksesan mereka tidak diikuti kreator komik Indonesia zaman sekarang.
Banyak faktor memang yang bisa dituduhkan sebagai penyebab kematian komik Indonesia. Tetapi, satu hal yang jelas, salah satu faktor tersebut adalah, pada saat komik kita menjadi tuan rumah di negaranya sendiri pada saat itu juga sangat gencar tudingan negatif tertuju pada keberadaan komik: mengkhayal, porno, tidak ilmiah, memboroskan waktu, dan menghambat belajar,
Sampai-sampai dalam mengapresiasi karya seni itu pun dilakukan dengan cara mencuri-curi dan sembunyi-sembunyi.
Sahdan, nun lebih jauh di luar sana, terutama negara barat dan Jepang, industri komik menyiapkan segala jurus untuk menguasai dunia. Mereka pelajari betul karakter manusia dan menanamkannya ke dalam tokoh-tokoh komik. Mereka pelajari betul animo penggemar komik. Mereka pelajari betul bagaimana mempromosikan dan memasarkannya, dan mereka pelajari betul bagaimana menyentuh sisi manusia yang teramat penting: yaitu bagaimana membuat mereka menertawakan diri sendiri.
Hasilnya dapat ditebak: kita dikuasai komik asing. Anak-anak kita akrab dengan komik dari negara-negara barat, misalnya Superman, Batman, Donald Duck, Lucky Luke, Asterix, dan Tintin.
Pada perkembangan yang terbaru, kita lebih akrab dengan komik Jepang. Komik Jepang yang didukung dengan film kartun dan efek-efek animasinya benar-benar merajai. Dari anak-anak sampai dewasa kenal dengan Dora Emon, Crayon Sinchan, Marukochan, Dragon Ball, Samurai X, dan Beyblade.
Tanpa harus menangis sesenggukan, kita memang layak prihatin atas wafatnya komik Indonesia. Tetapi, yang lebih penting adalah, dari komik-komik asing tersebut kita dapat belajar. Yoshiko Usui, Fujiko F Fujio, Sakura Momoko, Morris - Gosciny, dan Herge mengajarkan kepada kita bagaimana membuat komik yang layak dinikmati.
Yoshiko Usui, Fujiko F Fujio, dan Sakura Momoko memberi pelajaran kepada kreator komik kita bagaimana memasukkan karakter penikmat komik ke dalam tokoh-tokoh komik. Dengan kata lain, ketika mereka menikmati sepak terjang polos tetapi menimbulkan masalah dan terkesan menjengkelkan Nobita, Sinchan, dan Marukochan, pada saat itu mereka menikmati diri sendiri.
Para pembuat komik itu juga mengajarkan bahwa karakter tokoh tidak harus stereotip: tokoh baik melawan tokoh jahat. Hal ini tampak pada Dora Emon dan Sinchan. Hampir semua tokohnya tidak ada yang sempurna dari segi sifat, misalnya Nobita, Takezhi, Suneo, keluarga Nobita, keluarga Takezhi, keluarga Suneo, Sinchan, teman-teman Sinchan, guru Sinchan, dan keluarga Sinchan. Semuanya banyak memiliki sisi kelemahan. Dan ini sangat manusiawi. Tidak ada manusia sempurna.
Pelajaran ini juga sangat penting bagi orang tua dan guru. Kita dapat menyelami dunia karakter anak dan manusia pada umumnya. Kita dapat berguru kepada tokoh-tokoh tersebut. Bahkan tokoh Sinchan yang terkenal bandel. Dalam kondisi yang memungkinkan, biarkan anak mengapresiasi film/kartun tersebut. Anak akan melakukan proses penemuan sifat dan kearifan melalui kacamatanya.
Tak pelak, komik, langsung atau tidak langsung memang mempengaruhi proses pengarifan, pencerdasan, apresiasi, dan pendewasaan anak. Orang tua tinggal menemani, membimbing, mengajak diskusi tentang karakter tokoh dan nilai seni yang terkandung. Biarkan komik membantu mendewasakan anak secara artistik dan jenaka.
Dan nun jauh di sana, di antara anak-anak dan siswa kita, dengan mencuri-curi dan sembunyi-sembunyi, banyak yang melukis karikatur dan komik. Sungguh sangat indah dan membanggakan. Siapa tahu dari tangan mereka zaman komik Indonesia akan kita jelang.***
Purnomo E Hudoyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar