Kamis, 13 Agustus 2009

Soap Opera


Komedi Kamar Mandi

Indonesia menipu!
Kalimat tersebut kujumput pada suatu malam di warung angkring, di salah satu sudut Pakualaman, Jogja. Pernyataan nylekit itu terucap dari mulut seorang Prancis dengan tanpa sungkan, di sela-sela kunyahan jadah bakar. Teman yang sedang belajar bahasa Indonesia itu merasa ditipu melalui leaflet atau brosur promo tentang Indonesia. Dalam promo tersebut Indonesia digambarkan sebagai negara yang kental akan warna tradisional dan kehidupan budaya lokal. Kenyataannya?
Secara spesifik dia mengamati dari sisi acara televisi, karena laki-laki tersebut memang dosen di bidang media rekam. Maksudnya, kalau acara televisi kita, terutama di bidang entertainment, di-dubbing ke dalam bahasa Spanyol, jadilah televisi Spanyol, Meksiko, atau Venezuella. Kalau di-dubbing bahasa Inggris, jadilah televisi Amerika. Jadi, perbedaannya hanya dari sisi bahasa. Meskipun, kalau dikaji lebih lanjut, tidak jelas juga bahasa yang dianut bangsa entertainment televisi kita. Indonesia, bukan. Inggris, bukan. Betawi, bukan. Dari sisi ras pemain demikian juga. Indonesia, bukan. Amerika, bukan. Arab, bukan. India, bukan. Dari sisi kemasan acara membingungkan juga. Di bidang eskalator menuju dunia bintang angan-angan demikian juga: American Idol, Indonesian Idol, AFI, dan seabreg keinstanan yang lain. Acara ngrasani demikian juga. Mode pakaian, tak jelas juga. Bahkan dari penamaan stasiun televisi membingungkan juga.
Namanya juga televisi dunia angan. Maka jangan heran kalau kita kesulitan mengkaji makna yang terkandung di dalam nama stasiun televisi kita, misalnya Rajawali Citra Televisi Indonesia, Surya Citra Televisi, Indosiar, Global TV, Metro TV, AnTV, dan seterusnya. Mungkin maksud mereka Televisi Citra Rajawali Indonesia, yaitu televisi yang dicitrakan sebagai rajawali Indonesia. Sosok perkasa yang terbang melayang-melayang menguasai wilayah Indonesia. Mungkin maksud mereka Televisi Citra Surya, yaitu televisi yang dicitrakan sebagai matahari. Acara televisi stasiun tersebut menyinari dan menerangi. Mungkin maksud mereka Siaran Indo, TV Metro, TV An.
Konstruksi frasa yang lazim digunakan di dalam bahasa Indonesia, yaitu D-M (Diterangkan-Menerangkan) tidak mereka pakai. Mereka lebih suka konstruksi frasa yang lazim digunakan dalam bahasa Inggris, yaitu M-D (Menerangkan-Diterangkan). Mungkin mereka terbiasa menyebut ‘biru sepatu’ dan bukan ‘sepatu biru’.
Dalam konteks ini masih ada stasiun televisi yang namanya mudah dikaji maknanya, misalnya TVRI, TPI, dan TV7. Konstruksi frasa nama tersebut lazim dipakai di dalam bahasa Indonesia:Televisi Republik Indonesia (televisi milik Republik Indonesia), Televisi Pendidikan Indonesia (televisi yang berisi pendidikan Indonesia?), Televisi 7 (televisi bermerek 7).
Meskipun mereka bisa berkilah bahwa pemberian nama itu arbitrer (semena-mena), tetapi aromanya jelas sekali bahwa penamaan tersebut tidak bertumpu kepada kesemena-menaan, tetapi strategi dagang. Konon nama berbau Amerika lebih menjanjikan dibanding Indonesia. Hamburger lebih popular dibanding lemper.
Kita kembali ke warung angkring menemui sahabatku yang sejak tadi masih bersungut-sungut. Untuk menghiburnya, aku bercerita tentang Jogja era 70-an. Aku dan teman-temanku, dengan berselempang sarung, pada sore hari berangkat ke THR (Taman Hiburan Rakyat, sekarang menjadi Purawisata) untuk nonton acara televisi umum hitam putih. Saat itu tidak sembarang orang punya televisi, meskipun hanya hitam putih. Acara televisi dimulai pukul lima sore hingga dua belas malam. Stasiun televisi pun hanya ada TVRI. Acara yang paling ditunggu-tunggu Kethoprak, Album Minggu Ini, Film Akhir Pekan, Mannix, Rin Tin Tin, Bonanza, dan Kuncung lan Bawuk. Di antara acara ini, bagi masyarakat Jogja kelihatannya yang sangat disukai adalah Kethoprak dan Kuncung lan Bawuk; dua acara yang berpijak pada konsep budaya lokal.
Tetapi sekarang, seperti halnya bidang lain, hegemoni Amerika akhirnya merambah bidang pertelevisian juga. Tahun 1980-an, Jack Lang, Menteri Kebudayaan Prancis mengingatkan dengan keras, “Simbol imperialisme budaya,” ketika opera sabun Amerika menerobos Eropa.
Opera sabun merupakan perpanjangan kisah-kisah radio Amerika tahun 50-an dan roman Harlequin, komedi Italia. Bahkan di Amerika delapan puluh persen lebih acara televisi berjenis soap opera. Ke Indonesia mereka mengusung Dallas dan Dynasti. Dari Australia kita menerima The Bold and The Beautiful. Dari Meksiko, Venezuella, dan Spanyol, kita menyerap telenovella. Dari India kita menerima konsep drama yang ekstrim klise, mutlak hitam-putih mengharu biru. Semuanya itu soap opera. Diberi nama soap opera, karena konon, iklan yang mendominasi acara tersebut hanya seputar sabun atau kamar mandi: dari sabun mandi, sabun cuci, sampo, pasta gigi. Lebih jauh iklan yang menghiasi adalah teman-teman perangkat kamar mandi tersebut: pengharum kamar mandi, pengharum ruangan, minyak wangi, perangkat dapur, kosmetik, obat antinyamuk, sampai pembalut wanita. Pokoknya barang-barang yang menjadi perhatian kaum ibu.
Secara strategi dagang tidak salah kalau mereka membidik kaum wanita untuk dimanjakan pada jam kerja dan prime time (jam tayang utama sekitar pukul 19.00 sampai 21.30). Hal ini karena pada umumnya memang kaum wanitalah yang berkaitan dengan urusan belanja. Oleh karena itu jangan heran kalau opera sabun berkutat tentang wanita. Bahkan judul-judulnya pun wanita: Maria Mercedes, Marimar, Cassandra, Paulina, Rosalinda. Kita pun ikut-ikutan: Mutiara, Marisa, Mentari, Cahaya, Indah, Fitri, Chelsea, Jelita, Candy, Cinderella.
Konon, bertumpu pada karakter wanita itulah maka opera sabun yang di Indonesia diganti menjadi sinetron lebih mengutamakan cerita yang ekstrim dramatis mengharu biru. Wilayah penyerangan di zona perasaan. Bukan logika maupun kajian sinematografi sebagai seni. Garin Nugroho menyebutkan bahwa tokoh dalam opera sabun merupakan perwujudan boneka mainan sejak kecil yang dipajang mewah di toko-toko: mata biru, kulit putih, hidung mancung, rambut kemilau, bibir merah. Karena dipajang, siapa pun bisa menikmati dan mendambakan untuk memiliki boneka mahal tersebut. Dari kalangan kaya sampai jembel jelata.
Jangan terpingkal-pingkal kalau melihat busana, model rambut, maupun make up pemain sinetron. Maksud mereka tidak melucu tapi jadinya malah lelucon. Pakaian sekolah menggelikan. Rambut dan make up siswa membikin ngakak. Maksudku, pemandangan di sekolah bangsa sinetron lebih mirip perayaan halloween.. Ada siswa berpura-pura jadi orang yang baru bangun tidur. Rambut awut-awutan. Ada yang berpura-pura jadi tukang cat tembok, sehingga rambutnya belepotan cat. Ada yang berpura-pura baru keluar dari kamar mandi, sehingga rambutnya selalu kelihatan basah. Ada yang berpura-pura sebagai Napoleon Bonaparte, sehingga celananya ketat sekali. Sebaliknya ada yang juga yang berperan sebagai Ali Baba, celana kombor. Ada yang berpura-pura sebagai narapidana, sehingga ke mana-mana digayuti rantai. Ada siswi yang berperan sebagai Winnie the Pooh, sehingga kaos atau bajunya sangat ngampret, tidak sampai pinggang. Ada yang berperan sebagai orang miskin, tak cukup uang untuk beli rok, sehingga rok TK dipakai terus sampai SMA. Ada yang berperan sebagai pemain kabuki (drama Jepang), sehingga – baik laki-laki maupun perempuan – wajah mereka berbedak tebal dan berlipstik.
Selain kekonyolan tersebut, berlaku juga rumus lelucon dalam bangsa sinetron. Rumus yang berlaku adalah R = - L. Maksudnya, Rating (acara yang disukai) adalah acara yang minus Logika. Penonton televisi Indonesia adalah masyarakat yang tidak suka logika. Yang penting sederhana dan instan. Mereka suka kalau adegan berikutnya maupun akhir cerita seperti yang mereka harapkan.
Cerita tentang sekolah berarti kisah tentang ketololan cinta. Tidak ada permasalahan kemanusiaan maupun pendidikan yang mendalam. Adegan sebagian besar tidak di kelas, tetapi di kantin dan lorong antarkelas. Tokoh utama protagonis biasanya pandai di bidang akademik dan bintang olahraga, basket misalnya. Sosok guru digambarkan secara hiperbolis tetapi menggelikan. Dalam kelompok siswa ada yang dijadikan badut dan bahan olok-olokan, biasanya gendut dan makannya banyak. Ada yang menjadi kutu buku dan diwujudkan dalam sosok rambut lurus berbelah pinggir, berkaca mata tebal, tetapi malah terkesan blo’on. Pembantu rumah tangga berasal dari Jawa, terutama Jawa Tengah dan Yogyakarta. Maklum, orang Betawi biasanya tidak menganggap DKI sebagai bagian dari Jawa. Mungkin DKI berada di pulau yang tak terdeteksi di dalam peta. Nama pembantu biasanya the old Javanese fashioned name. Misalnya, Inem, Paijo, Bejo, Iyem, Mbok, dan Iyah. Terkesan ada pelecehan suku. Bangsa sinetron itu lupa bahwa orang penting Indonesia banyak berasal dari Jawa. Bahkan presiden Indonesia semua berasal dari Jawa, kecuali Habibie sebagai presiden masa transisi, tanpa proses pemilihan. Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, SBY, dari Jawa.
Di dalam kotak kaca impian itu semuanya jadi sederhana, klise, stereotip, hitam putih belaka. Watak manusia hanya ada dua: keterlaluan baik dan kebangeten jelek. Tokoh utama protagonis adalah wanita miskin yang dikuya-kuya, tetapi cantik dan sama sekali tidak kelihatan miskin. Bahkan penampilannya malah kelihatan lebih kaya dibanding juragannya. Hal ini tampak dari kulitnya yang tampak bukan kulit pekerja kasar, tetapi kulit tak pernah tercium matahari. Tokoh antagonis adalah sosok wanita cerewet yang perannya hanya mencaci maki. Oleh karenanya, konflik fisik yang disusun sebagian besar adalah konflik caci maki. Jadi direktur perusahaan sangat gampang, terbukti masih berusia sekitar 20 - 30-an sudah menjabat pemimpin perusahaan. Tetapi urusannya bukan strategi bisnis, melainkan cinta. Dalam kisah cinta segitiga, karena buntu dalam mengakhiri cerita, salah satu tokoh dimatikan, misalnya tiba-tiba ketabrak mobil. Penonton terharu, habis perkara. Setelah memenangkan perkelahian, sosok hero pujaan penonton biasanya ditampilkan dengan wajah berluka, tetapi lukanya berupa goresan atau memar samar-samar di dahi, pipi, atau samping bibir, sehingga kelihatan lebih macho. Mungkin penjahatnya memilih memukul bagian tersebut. Padahal dalam perkelahian bisa saja mulut jadi monyong, seputar mata benjol, dan gigi ompong. Pemerkosa juga tampak tolol. Sama sekali tidak tahu ilmu anatomi tubuh. Yang dilakukan hanya mengguncang-guncang pundak korban. Padahal pundak bukan bagian lemah. Akhirnya karena perkosaan itu bertele-tele, terlalu lama tak membuahkan hasil, datanglah sosok hero yang menghajar pemerkosa tolol nan sial tersebut.
Selain seputar pembodohan budaya di atas, materi sinetron lainnya didominasi dua materi. Pertama, seputar hantu yang tidak menakutkan, tetapi menjijikkan. Kedua, khurafat, takhayul, dan bid’ah yang berkedok agama Islam. Padahal cerita tersebut malah merusak akidah Islam.
Lamunan berisi kejengkelanku buyar ketika teman Prancisku tadi bertanya, “Apakah opera sabun di televisi Indonesia merupakan cerminan bangsa Indonesia?”
“Ya. Episode-episode dalam sinetron merupakan miniklimaks-miniklimaks. Tak pernah selesai. Sebuah cerita boleh selesai, tetapi akan diteruskan dengan cerita berfilusufi sama dalam judul lain. Demikian seterusnya. Dan ini merupakan cerminan kisah bangsa Indonesia. Tahun demi tahun berganti. Tokoh demi tokoh berganti. Kebijakan demi kebijakan berganti. Tetapi ceritanya masih tetap sama.*** epeha








Tidak ada komentar:

Posting Komentar