Para ahli sejarah jurnalistik mencatat bahwa 16 Februari 1896 merupakan hari kelahiran komik. Mereka juga menyatakan Richard F Outcault dari World-nya Joseph Pulitzer sebagai penciptanya, dan “Yellow Kid” yang pertama kali ditampilkan dalam edisi Minggu pagi World tersebut dianggap sebagai nenek moyang komik.
Komik “Yellow Kid” laris manis bak pisang goreng di musim penghujan sore hari. Komik ini menggambarkan seorang anak yang suka tersenyum, buruk rupa, serta merana dengan mengenakan baju malam berwarna kuning menyala dan sangat mencolok.
Sayangnya, kesuksesan “Yellow Kid” tersebut pada perkembangannya membuahkan imaji negatif masyarakat: warna kuning mencolok Yellow Kid dituduh sebagai simbol pers yang senang akan sensasi, penuh gosip, dan tidak bertanggung jawab. Dari situlah muncul istilah populer di dunia jurnalistik, yaitu “jurnalisme kuning”. Julukan jurnalisme kuning yang cenderung miring tersebut ditujukan buat media massa yang lebih suka mengekspose berita-berita sensasional dan kurang bertanggung jawab hingga kini.
Lebih merana lagi, komik juga menuai getah. Komik dianggap sebagai konsumsi yang kurang bermutu dan kurang mendidik. Hal ini dikarenakan, selain faktor di atas, pada perkembangan berikutnya komik memang mengalami suatu trend, yaitu komik romantis dengan gambar yang agak seronok. Lengkap sudah pandangan masyarakat terhadap komik.
Akan halnya di Indonesia, nada miring tersebut sangat terasa, khususnya kurun 50-an hingga 80-an. Sampai sekarang pun masih banyak orang tua yang menganggap komik sebagai konsumsi yang tidak perlu, mengkhayal, dan tidak mendidik. Bahkan pada peraturan sekolah pun terpampang jelas larangan untuk membawa komik.
Bertolak belakang dengan pemandangan di atas, nun jauh di sana, di Indonesia, sekelompok kecil masyarakat peduli komik meratap menangisi kematian komik Indonesia. Memang, sebelum era 90-an komik Indonesia menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Pembaca komik sangat akrab dengan nama-nama komikus domestik dan kurang mengenal komik asing. Sebutlah, misalnya Jan Mintaraga, Ganes Th, Teguh, Djair, Hasmi, Wid NS, dan Hans Jaladara. Dari nama-nama tersebut muncullah tokoh komik, misalnya Indra Bayu, Djaka Sembung, Gundala, Godam, dan Si Buta dari Goa Hantu. Mereka semua sekarang relatif tidak dikenal di kalangan penggemar komik. Lebih ironis lagi, jejak kesuksesan mereka tidak diikuti kreator komik Indonesia zaman sekarang.
Banyak faktor memang yang bisa dituduhkan sebagai penyebab kematian komik Indonesia. Tetapi, satu hal yang jelas, salah satu faktor tersebut adalah, pada saat komik kita menjadi tuan rumah di negaranya sendiri pada saat itu juga sangat gencar tudingan negatif tertuju pada keberadaan komik: mengkhayal, porno, tidak ilmiah, memboroskan waktu, dan menghambat belajar,
Sampai-sampai dalam mengapresiasi karya seni itu pun dilakukan dengan cara mencuri-curi dan sembunyi-sembunyi.
Sahdan, nun lebih jauh di luar sana, terutama negara barat dan Jepang, industri komik menyiapkan segala jurus untuk menguasai dunia. Mereka pelajari betul karakter manusia dan menanamkannya ke dalam tokoh-tokoh komik. Mereka pelajari betul animo penggemar komik. Mereka pelajari betul bagaimana mempromosikan dan memasarkannya, dan mereka pelajari betul bagaimana menyentuh sisi manusia yang teramat penting: yaitu bagaimana membuat mereka menertawakan diri sendiri.
Hasilnya dapat ditebak: kita dikuasai komik asing. Anak-anak kita akrab dengan komik dari negara-negara barat, misalnya Superman, Batman, Donald Duck, Lucky Luke, Asterix, dan Tintin.
Pada perkembangan yang terbaru, kita lebih akrab dengan komik Jepang. Komik Jepang yang didukung dengan film kartun dan efek-efek animasinya benar-benar merajai. Dari anak-anak sampai dewasa kenal dengan Dora Emon, Crayon Sinchan, Marukochan, Dragon Ball, Samurai X, dan Beyblade.
Tanpa harus menangis sesenggukan, kita memang layak prihatin atas wafatnya komik Indonesia. Tetapi, yang lebih penting adalah, dari komik-komik asing tersebut kita dapat belajar. Yoshiko Usui, Fujiko F Fujio, Sakura Momoko, Morris - Gosciny, dan Herge mengajarkan kepada kita bagaimana membuat komik yang layak dinikmati.
Yoshiko Usui, Fujiko F Fujio, dan Sakura Momoko memberi pelajaran kepada kreator komik kita bagaimana memasukkan karakter penikmat komik ke dalam tokoh-tokoh komik. Dengan kata lain, ketika mereka menikmati sepak terjang polos tetapi menimbulkan masalah dan terkesan menjengkelkan Nobita, Sinchan, dan Marukochan, pada saat itu mereka menikmati diri sendiri.
Para pembuat komik itu juga mengajarkan bahwa karakter tokoh tidak harus stereotip: tokoh baik melawan tokoh jahat. Hal ini tampak pada Dora Emon dan Sinchan. Hampir semua tokohnya tidak ada yang sempurna dari segi sifat, misalnya Nobita, Takezhi, Suneo, keluarga Nobita, keluarga Takezhi, keluarga Suneo, Sinchan, teman-teman Sinchan, guru Sinchan, dan keluarga Sinchan. Semuanya banyak memiliki sisi kelemahan. Dan ini sangat manusiawi. Tidak ada manusia sempurna.
Pelajaran ini juga sangat penting bagi orang tua dan guru. Kita dapat menyelami dunia karakter anak dan manusia pada umumnya. Kita dapat berguru kepada tokoh-tokoh tersebut. Bahkan tokoh Sinchan yang terkenal bandel. Dalam kondisi yang memungkinkan, biarkan anak mengapresiasi film/kartun tersebut. Anak akan melakukan proses penemuan sifat dan kearifan melalui kacamatanya.
Tak pelak, komik, langsung atau tidak langsung memang mempengaruhi proses pengarifan, pencerdasan, apresiasi, dan pendewasaan anak. Orang tua tinggal menemani, membimbing, mengajak diskusi tentang karakter tokoh dan nilai seni yang terkandung. Biarkan komik membantu mendewasakan anak secara artistik dan jenaka.
Dan nun jauh di sana, di antara anak-anak dan siswa kita, dengan mencuri-curi dan sembunyi-sembunyi, banyak yang melukis karikatur dan komik. Sungguh sangat indah dan membanggakan. Siapa tahu dari tangan mereka zaman komik Indonesia akan kita jelang.***
Purnomo E Hudoyo
Rabu, 29 Juli 2009
Resensi Kalatidha
Kalatidha
Reportase Sang Petualang
tentang Pelecehan Kemanusiaan
Judul : Kalatidha
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Ide Cerita : Nugroho Suksmanto
Jenis : Novel
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
milu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
ndilalah karsa allah
begja-begjane kang lali
luwih begja kang eling lawan waspada
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)
Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma ini tak pelak mengingatkan kita akan Serat Kalatidha karya Raden Ngabehi Ranggawarsito. Karena berpijak pada serat ini, tak ayal, Kalatidha berpusar pada arus garapan utama pada umumnya seniman, yaitu tentang keruwetan, kerakusan, kerusakan. Bahkan, begitu membaca judulnya, pembaca akan terbayang isi novel.
Pilihan mainstream ini memang dekat sekali dengan track record Seno Gumira Ajidarma (SGA) sejak kecil yang ‘pemberontak’. Meskipun terlahir di lingkungan akademis UGM (putra Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, Guru Besar FMIPA UGM), SGA terkenal pembangkang di sekolah. Waktu sekolah dasar ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib kor sampai ia dipanggil guru. Waktu di SMP 5 Yogyakarta ia memberontak: tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong, dan memelopori pemakaian tas kresek, sehingga sebagian besar siswa memakai tas kresek di sekolah. Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, SGA tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman, Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor. Lancar. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, SGA pulang dan meneruskan sekolah. (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2004, Panama SMP 5 Jogja, 2008)
Tabiat melawan ‘kebijakan’ sekolah ini berpengaruh pada Kalatidha.
Ini kualami dalam pelajaran menggambar. Apabila kami diminta menggambar di atas sabak dengan grip, yang kalau salah bisa dibersihkan dengan ludah, maka bisa ditebak bahwa kami akan menggambar yang itu-itu saja: pemandangan sawah dengan dua gunung dan jalan membelah di tengahnya. Namun sejak berlangsung pencidukan di mana-mana, kami sekarang mempunyai gambar lain: itulah simbol bergambar belati pasukan komando baret merah yang menjadi pujaan di mana-mana. Setelah beberapa bulan aku pun bosan dan suatu kali menggambar yang lain: yakni lambang palu arit.
Aku belum selesai menggambar ketika seorang anak berteriak, bahwa aku menggambar palu arit. Mendadak seluruh anak laki-laki di kelas mengerumuni mejaku, bau keringat mereka yang apak selalu terasa kembali olehku. Aku merasa gerah, namun tetap tenggelam dalam keasyikanku. Wajah teman-temanku kurasa sudah sama ganasnya dengan orang-orang yang memburu orang sampai masuk kelas waktu itu.
“Bapakmu PKI , ya?”
“Bapakmu PKI?”
“Kamu PKI?”
Memang sudah sering kudengar istilah PKI waktu itu. Suatu hari ada seorang anak yang tak pernah datang lagi ke sekolah dan penjelasan yang kudengar hanyalah, “Bapaknya PKI.” Namun, aku sungguh tidak tidak tahu apa hubungan gambar palu arit itu dengan PKI.
(Kalatidha, 2007, halaman 22)
Kutipan di atas menyiratkan jiwa berontak SGA terhadap stagnasi dan kesewang-wenangan. Dengan kata lain, pemberontakan ini bukan rekaan pengarang dalam kamar semata, melainkan data empiris yang identik dengan SGA. Beberapa paragraf kutipan di atas menyaran pada reportase beberapa kejadian berbeda tetapi identik. Tudingan sebagai pengikut PKI di atas, meskipun berseting tumbangnya orde lama, tetapi dipopularkan lagi, terutama untuk legitimasi pencidukan aktivis atau demonstran yang bergejolak pada masa tuntutan reformasi. Di tengah gejolak ini SGA terseret di dalamnya, baik secara langsung maupun sekadar sebagai ‘saksi’. Secara eksplisit, keterlibatan SGA dalam suasana chaos ini tampak pada surat terbuka Seno Gumira Ajidarma.
Surat Terbuka
Seno Gumira Ajidarma
APAKAH TEROR SUDAH DIMULAI?
SURAT ini adalah surat terbuka untuk siapa saja yang masih
memiliki akal sehat, hati nurani, dan terutama nyali.
Seperti telah diketahui, saya melalui Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Yogyakarta telah mengajukan tuntutan kepada Panglima Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, sehubungan dengan Tragedi 3 April di Universitas
Gadjah Mada. Dalam peristiwa itu, anak saya, Timur Angin, 19, telah diseret
dan diinjak-injak kepalanya oleh para petugas keamanan.
Detil dari peristiwa itu, yang disampaikan oleh Timur
sendiri, telah saya tuliskan dalam Mengapa Anak Saya Diinjak-injak,
yang dimuat koran Bernas sebagai Anak Saya Timur Angin.
Dalam tulisan itu sudah terungkap, bahwa Timur hanya menonton, tidak memotret,
tidak berteriak-teriak, apalagi melempar batu. Sebagai bapaknya, bukankah
wajar saya menggugat Pangab, bukan sebagai pribadi, tapi sebagai pihak
yang bertanggung jawab atas atas kebijakan institusi angkatan bersenjata
ini? Saya hanya menuntut agar kesalahan ini diakui, dan agar minta
maaf kepada korban yang tidak bersalah.
Saya tidak bicara tentang insiden, saya tidak bicara tentang
salah pentung, tentang salah pukul, tentang ketidaksengajaan -- siapakah
yang punya akal sehat dan hati nurani setuju bahwa menginjak-injak kepala
orang lain dengan sengaja merupakan kelakuan yang beradab?
Apakah tindakan semacam ini memang dibenarkan dalam pendidikan
dan kebijakan bagi para petugas keamanan? Apalagi kepada orang yang tidak
bersenjata dan bersalah. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih
dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada Kolonel (Pol) Chaerul, yang telah
berusaha keras melindungi Timur ketika sedang digebuki, meskipun penganiayaan
itu sempat berlangsung terus.
SAYA telah mengajukan tuntutan, dan hal itu telah dipublikasikan.
Sehubungan dengan hal itu banyak pihak telah memperingatkan saya bahwa
"seperti yang lain-lain" pasti akan ada teror. Maksudnya? Tekanan tidak
resmi supaya saya mencabut gugatan.
Saya bukan orang yang begitu beraninya melawan teror,
melainkan saya masih percaya bahwa jiwa ksatria seperti yang ada pada diri
Kolonel (Pol) Chaerul belum hilang sama sekali dari ABRI milik rakyat Indonesia
itu. Namun apakah yang telah terjadi?
Pagi ini, Selasa 7 April 1998, sekitar pukul 10.00. Dua
orang telah melakukan tindakan "maling" di rumah orangtua saya di Bulaksumur.
Di rumah hanya ada dua orang waktu itu, saya dan ayah saya. Saya membaca
di dalam kamar dan ayah saya sibuk menerima telepon. Pembantu rumah tangga,
Yuni, sedang ke toko membeli kopi.
Ketika Yuni datang, ada seseorang berdiri di pintu samping.
Yuni terus masuk karena dia pikir barangkali tamu. Di dalam, ternyata sudah
ada orang lain yang tak dikenalnya menjinjing sesuatu. Yuni langsung masuk
ke kamarnya dan ternyata kamarnya itu sudah berantakan dan terobrak-abrik.
Tas Yuni terletak di bawah, Yuni langsung memeriksa. Ternyata uang Rp 125.000
dan kalung emas sudah hilang. Yuni langsung berteriak-teriak. Saya meloncat
keluar. Bersama Yuni saya mengejar keluar. Yuni menunjuk orangnya yang
tadinya berjalan tenang-tenang dan langsung lari. Saya berteriak "Maling!
Maling!" dan banyak orang mengejar.
Kedua orang itu langsung meloncat naik bus Kobutri dari
arah Jalan Kaliurang ke selatan. Saya dan orang-orang tidak melanjutkan
pengejaran karena Yuni tergelimpang di tepi jalan sambil menangis
menjerit-jerit.
Kami menolongnya. Yuni kemudian pingsan.
Terus terang saya merasa terteror. Setelah siuman Yuni
menangis terus menerus. Kedua orang itu tampak necis, yang satu mengenakan
baju batik lengan panjang malah, dan rambutnya cukuran bros. Saya berdoa
sesungguh-sungguhnya, bahwa kedua orang ini maling beneran. Yang sudah
cukup puas dengan kalung emas dan uang Rp 125.000. Kalau ini hanya
maling-malingan,
apakah saya akan kuat menghadapinya? Rumah itu hanya berpenghuni dua orang
tua, masing-masing berusia 78 dan 76 tahun, bersama Yuni dan anak saya.
Apakah saya harus mengerahkan orang-orang untuk berjaga 24 jam?
Saya tidak menuduh, tidak melakukan insinuasi, dan sungguh-sungguh
percaya kepada jiwa ksatria aparat keamanan -- kecuali yang terbukti melakukan
penganiayaan.
Saya menulis surat terbuka karena saya merasa tidak berdaya,
sendirian, seolah-olah menghadapi ancaman dari langit. Benarkah saya harus
mencabut gugatan saya? Bagaimana tanggung jawab saya terhadap hidup saya
kalau saya tidak melakukan kewajiban yang harus dijalankan seorang bapak?
Lantas bagaimana dengan jaminan keselamatan saya dan keluarga saya?
Surat ini adalah surat terbuka kepada siapa saja yang
memiliki akal sehat, hati nurani, dan secuil nyali. Saya sendiri tidak
terlalu yakin dengan besar kecilnya nyali saya. Tapi benarkah saya harus
mundur tanpa mendengar nada maaf dan penyesalan? Saya hanya memberi kesempatan
institusi militer untuk melakukan sikap terhormat. Apakah saya salah? Apakah
saya keliru? Kawan-kawan dari LBH mengatakan tidak. Suara hati saya juga
mengatakan tidak. Saya ingin mendengar pendapat Anda.
(Seno Gumira Ajidarma)
Surat tersebut menunjukkan kegelisahan batin dan pikiran terkait dengan kondisi kemanusiaan yang dilecehkan oleh pola militerisme. Sebagai penguat anggapan ini, Mohamad Sobary, 2002, berpendapat, “Fungsi kepujanggaan Seno memang mewakili perasaan maupun aspirasi kita. Sekarang kita sedang berada dalam gelap, dan Seno berteriak tentang kegelapan itu, dan kita pun dibikinnya lebih sadar secara politik bahwa kegelapan merupakan hasil sebuah proses sejarah, dan kita pun tahu, sejarah – dulu dan sekarang – selalu dan selalu merupakan hasil rekayasa kaum elite untuk melindungi kepentingan mereka. Dan kita tertipu terus-menerus.”
Karena SGA seorang wartawan, kegelisahan ini diikuti dengan proses hunting, baik mencari data dari narasumber maupun sebagai saksi mata, dan mengolahnya sebagai karya yang kontemplatif. Proses kreatif ini mengingatkan kita kepada banyak karyanya yang lain, misalnya, ‘Tujuan: Negeri Senja’ dan Saksi Mata. Demi Saksi Mata, SGA memotret langsung di Timor Timur.
Kerangka Kalatidha adalah kemanusiaan. Meskipun cenderung membela ‘komunis’ yang dilecehkan kemanusiaannya, Kalatidha tidak menjadi pendagingdarahan faham. Kalatidha tidak terjatuh ke dalam propaganda faham atau aliran filsafat. Posisi ‘komunis’ di sini sama dengan warga Timor-Timur, demonstran, murid, seniman, istri, pacar, wartawan, dan lain-lainnya dalam karyanya yang lain.
Meskipun menebar kegelisahan dalam diri, SGA tidak lantas menjadi kreator dalam kamar yang murni mengandalkan ilham dan kontemplasi, kemudian mereka-rekanya menjadi sebuah cerita yang mengharu biru. Selain hunting dan memotret langsung, terkadang dia menggali dari sumber-sumber lain. Bahkan Kalatidha ini, meskipun bersumber pada ide cerita Nugroho Suksmanto, beberapa adegan merupakan deskripsi dramatis Serat Kalatidha-nya Ranggawarsito.
Dasar karoban pawarta
bebaratun ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri
yen pinikir sayekti
mundhak apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali
lamun tuwuh dadi kekembanging beka
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)
Persoalannya hanyalah karena
kabar angin yang tiada menentu
akan ditempatkan sebagai pemuka
tetapi akhirnya sama sekali tidak benar
sebenarnya kalau direnungkan
apa sih gunanya menjadi pemimpin
hanya akan membuat kesalahan-kesalahan
lebih-lebih bila ketambahan lupa diri
hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)
Bait dalam Serat Kalatidha tersebut dideskripsikan dengan sangat dramatis di dalam Kalatidha-nya Seno Gumira Ajidarma. Berdasar pada serat tersebut tampak bahwa sumber permasalahan adalah kabar yang tidak sepenuhnya jujur. Pemimpin yang lupa diri menggunakan kabar sebagai senjata untuk meraih atau memperkokoh kekuasaan. Oleh karena itu tak mengherankan kalau SGA mengutipkan sebanyak 22 berita dari koran yang beredar pada era akhir Soekarno dan fase pemberantasan ‘komunis’, yang didominasi surat kabar Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, serta beberapa dari Bintang Timur dan Kompas. Berita dari rezim tersebut selanjutnya menggerakkan aparat dan masyarakat untuk melangsungkan serangkaian pembasmian dan teror.
Pemunculan masalah dalam alur Kalatidha adalah keperkasaan kabar sebagai legitimasi penghakiman: anggota PKI atau bukan. Secara spesifik permasalahan muncul karena tersiar kabar bahwa terdapat ‘komunis’ di dalam sebuah keluarga. Rumah dibakar, seisi rumah dibantai, bahkan kedua anak perempuan kembar keluarga itu pun jadi korban: 1 meninggal dan 1 gila.
Sebagai penguat ilustrasi, selain pelecehan kemanusiaan yang terentang sepanjang alur utama, banyak dilaporkan pelecehan kemanusiaan yang lain, misalnya,
Aku mendekati mereka (mantan tahanan politik, Penulis), kutawarkan penampungan di rumahku. Di sanalah mereka bercerita.
“Saya tidak tahu apa-apa sebenarnya soal Gestapu. Saya memang anggota Cakrabirawa dan kenal Untung—tapi apa salahnya kalau saya kenal Untung? Hampir setiap hari sebelum diberangkatkan ke Pulau Buru saya disiksa dan disuruh mengaku. Saya tidak tahu harus mengaku apa dan kalaupun tahu kenapa saya harus mengaku? Katanya saya mengetahui rencana penculikan dan pembunuhan para jenderal. Tentu saja saya tidak tahu. Setiap hari punggung saya ditetesi lelehan ban sepeda yang dibakar. Jangan ditanya seperti apa rasanya. Seabagai anggota pasukan pengawal istana, saya bukan tidak dilatih untuk menahan penderitaan, yang saya tidak mengerti bagaimana orang-orang militer ini tahu betul berbagai cara penyiksaan.
.............
“Karena segala siksaan takkan bisa membuka mulut saya, mereka gunakan lain cara yang tidak pernah saya bayangkan ada. Saya masih ditindih ketika pengecut lain datang membawa seorang tahanan wanita. Ia sedang hamil dan katanya ia Gerwani. Saya harus melihat bagaimana ia ditelanjangi dan kakinya dibuka paksa, agar sangkur pada bayonet bisa dimasukkan ke kemaluannya. Saya lihat sangkur itu sudah berdarah ketika darah saya naik dan suatu kekuatan luar biasa mendadak merasuki saya, meja itu berhasil saya balik dan menyungkurkan empat pengecut yang sejak tadi ongkang-ongkang sambil tertawa.
“Saya berdiri dan meninju pemegang bayonet itu sampai pingsan. Wanita malang itu sudah sejak tadi pingsan. Saya kemudian tak tahu apa yang terjadi karena sebuah pentungan dari belakang juga membuat saya pingsan...
(Kalatidha, 2007, halaman 62)
Seperti disebutkan di atas, banyak ilustrasi penguat alur utama. Bahkan bisa dikatakan novel ini lebih banyak mewartakan kisah maupun sketsa nonalur utama. Alur utama sebenarnya simpel: keluarga dibantai, menyisakan satu putri gila – putri gila dijadikan objek giliran perkosaan rutin di rumah sakit jiwa – saudara kembar putri gila yang mati arwahnya merasuk ke dalam raga si putri gila – si putri gila jadi heroine sakti – pembalasan dendam.
Tokoh aku dalam novel ini pun tidak terkait langsung dengan alur utama. Hubungannya dengan pendekar putri sekadar secret admirer sejak masih bocah, sejak si pendekar belum dilanda musibah kezaliman.
Posisi ‘tokoh aku’ sebatas pewarta. Posisi ini sangat aman karena dia bisa melaporkan segala bentuk kegilaan dan paradoksitas dalam rentang zaman. Tetapi karena kebebasan mewartakan ini, Kalatidha lebih menyerupai kumpulan cerpen daripada novel. Hubungan antarbab dalam novel sangat dipaksakan. Kondisi ini didukung kenyataan bahwa Seno Gumira Ajidarma lebih dikenal sebagai raja cerpen Indonesia modern daripada novelis. Dengan kata lain, jika dikirimkan, ada beberapa bab dalam novel ini -- yang penulis yakin -- dapat dimuat di media massa patron sastra serius skala nasional.
Fungsionalitas masing-masing kisah perangkai novel ini sangat longgar: kisah ‘tokoh aku’, catatan Joni Gila, kisah kakak ‘tokoh aku’, negeri cahaya, pawai cahaya, dan lain-lain. Masing-masing kisah dapat menjadi satu cerita yang solid.
Atribut yang berdesak-desakan di pundak SGA menyebabkan celah kemungkinan terjadinya kondisi di atas. Seno Gumira Ajidarma yang pada usia 17 tahun puisinya sudah dimuat di Horizon, adalah sosok ‘petualang’, wartawan, fotografer, cerpenis, kritikus film, dramawan, dan dosen matakuliah Kajian Media di FFTV Institut Kesenian Jakarta dan Kajian Sinema di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Selain atribut di atas, SGA adalah sosok penggemar komik Indonesia, misalnya Djair, Ganes Th, Jan Mintaraga, Teguh Santosa, Wied NS, Hasmi, R.A. Kosasih, dan Hans Jaladara. Bahkan gelar doktor dalam bidang Ilmu Susastra dia peroleh setelah berhasil mempertahankan disertasinya dalam sidang terbuka Senat Akademik UI berjudul Tiga Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan. Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, dengan kopromotor Dr. Melani Budianta dan Dr. Rahayu S. Hidayat. Para penguji terdiri dari Prof. Dr. Primadi Tabrani (Dosen Seni Rupa ITB), Dr. Ignas Kleden, Dr. Lilawati Kurnia dan Prof.Dr. Toeti Herati Noerhadi. Kecintaannya kepada komik ini selain mengantarnya mendapat gelar doktor juga memberi sumbangan kekayaan dalam menulis cerita. Hal ini tampak pada beberapa karyanya, tak terkecuali Kalatidha ini.
Putaran pertama mengubah busana pasien rumah sakit jiwanya dengan busana seorang perempuan pendekar berbaju pangsi dan celana tiga per empat gombrong yang terbayangkan akan mampu melenting dari genting ke genting. Putaran kedua memberikan cahaya dan daya ke dalam tubuhnya sehingga segenap luka serta segala dampak keteraniayaannya di rumah sakit jiwa bagaikan sama sekali tiada berbekas. Putaran ketiga mendandaninya menjadi perempuan indah tiada tara dengan ikat kepala yang merapikan rambut panjang ikal mayangnya, selendang terikat di pinggang yang menunjukkan kelangsingan dan kerampingan tubuh perkasanya, lengkap dengan alas kaki yang terikat tali temali kulit melingkar dan menghiasi betis terindah yang pernah kulihat. Putaran keempat memberinya perlengkapan sejumlah senjata yang melekat dengan segala warangka di tubuhnya, mulai dari dua pedang panjang yang saling bersilang di punggung, dua belas pisau terbang dalam sabuk, yang melingkari pinggang, dua bilah kapak tergantung di pinggang kiri dan kanan.
(Kalatidha, 2007, halaman 105-106)
Deskripsi di atas tak pelak mengingatkan kita kepada pendekar wanita kreasi Djair, Jan Mintaraga, Ganes Th, dan Hans Jaladara. Deskripsi di atas diikuti serangkaian sepak terjang indah si pendekar wanita dalam membunuh ratusan peleceh kemanusiaan, yang sungguh mampu membangkitkan kenangan indah kita kepada zaman keemasan komik asli Indonesia.
Akan halnya citra tokoh utama dalam cerita ini, seperti digambarkan dalam kutipan di atas, sungguh elok. Seperti kita ketahui, sebagian besar wanita dalam karya SGA memang indah, misalnya Linguae, Dunia Sukab, Sepotong Senja untuk Pacarku, dan Sebuah Pertanyaan untuk Cinta. Anggapan ini didukung pengakuan SGA.
Penamaan tokoh maupun seting sesederhana citra tokoh di atas. Nama tokoh utama maupun pendukung utama tidak disebutkan. Cukup ‘aku’, ‘gadis kecil’, dan ‘perempuan gila’. Tokoh yang bernama adalah tokoh pembantu atau beberapa tokoh yang porsi perannya relatif kecil, misalnya Joni si Malin Kundang, Ranuwisid, Bu Haroen, Bu Sam, dan Si Puss. Seting tempat demikian juga, seperti kutipan berikut ini.
Di barat daya kota S terdapatlah daerah P. Nama ini berasal dari kata F, tuan tanah Belanda penguasa wilayah itu di masa lalu. Di seberang P terdapat hamparan ladang pertanian, di antara P dan ladang ini terdapatlah M, wilayah yang dimaksudkan sebagai pembatas nan rapi, tetapi setelah ditinggalkan Belanda menjadi daerah tak bertuan. Ke wilayah itulah berdatangan para pendatang dan berubahlah M yang berkelok memanjang itu menjadi padat tak terkendali.
Semasa kecil aku tinggal di P dan sungai yang memisahkan P dan M menjadi wilayah pengembaraanku.
........
(Kalatidha, 2007, halaman 9-10)
Bagian pemaparan seting tersebut sebenarnya sangat penting, karena dengan penyebutan nama seting yang lebih spesifik, pembaca dapat lebih membayangkan detail seting. Tetapi, begitulah, di tangan SGA penamaan hanya disingkat sedemikian rupa. Penyepelean nama ini diakui SGA dalam catatannya tentang Dunia Sukab, 2001, “Padahal dalam fiksi pun Sukab bukanlah nama seorang tokoh. Sukab hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekadar karena saya malas “mengarang”, menyesuai-nyesuaikan nama dengan karakter tokoh supaya meyakinkan dan lain sebagainya. Setiap kali saya kesulitan mencari nama, saya pasang saja nama Sukab. “Toh, sama-sama fiktif ini,” pikir saya, “kenapa harus susah-susah cari nama?”
...............
Tapi apalah artinya sebuah nama? Judul-judul, nama-nama, kata-kata, semuanya berbaur dalam berbagai peristiwa, membentuk dunia kita.......”
Memang, berdasar sedikit ulasan di atas tampak bahwa Seno Gumira Ajidarma dalam Kalatidha kurang tekun untuk menggarap sisi fungsionalitas alur, seting, dan penokohan. Sehubungan dengan alur, seperti karya SGA yang lain, Linguae, misalnya, dia tidak memilih resep pada umumnya penulis prosa yang memulai cerita dengan elemen pengerut kening dan mengakhiri dengan jurus penggedor hati. Meskipun demikian, Kalatidha tidak lantas menjadi karya sastra masygul karena punya pelunasan di dimensi lain. Andalan tersebut kembali ke jatidiri Seno yang petualang, wartawan, fotografer, kritikus film, dan dosen. Karena unsur pembentuk Seno cukup variatif, karyanya pun demikian. Variasi unsur pembentuk tersebut menghasilkan keelokan gaya cerita, kekayaan bahan tulisan, dan pertanggungjawaban ilmiah. Berbekal, minimal, tiga kepiawaian di atas, tema umum yang dipilih dalam Kalatidha, kemanusiaan, tersajikan.
Banyak pengamat berpendapat bahwa gaya bercerita SGA sangat elok. Keelokan ini membentuk sebuah lanskap yang di dalamnya terdapat berbagai suasana hati, situasi, dan misi yang masing-masing memiliki keelokan yang khas. Dengan kata lain, keelokan itu bisa menggelikan, menyedihkan, mengesankan, menggelisahkan, meromantiskan, atau memualkan. Seperti karya-karyanya yang lain, Kalatidha menunjukkan keelokan itu. Banyak bagian cerita tersaji dengan puitis, kontemplatif, dan mengendap di dalam, misalnya pada bagian ‘Kabut di Hutan Bambu’, ‘Masih Sekitar Hutan Bambu’, ‘Pawai Cahaya’, ‘Negeri Cahaya’, dan ‘Sang Mata di Tepi Pantai’. Berikut sedikit kutipan dari bagian ‘Kabut di Hutan Bambu’.
Pada mulanya memang kabut, masih akan selalu kabut, dan sebaiknya memang tetap saja kabut, kabut, dan kabut, yang kekelabuannya tiada pernah dan tiada perlu memberikan sesuatu yang jelas. Apalagi yang menarik dari hidup ini jika segala sesuatu sudah begitu jelas dan begitu pasti? Aku adalah anak kabut, dilahirkan oleh kabut, hidup di dalam kabut, dan atas nama kabut kupertaruhkan hidup dan matiku, pahit dan manisku, suka dan dukaku, kebahagiaan dan kepahitanku, kehidupan dan kematianku dalam segala kemungkinan yang telah diciptakan Tuhan untuk dijelajahi olehku. Kabut adalah duniaku – dalam kabut itulah aku mengembara dan menjelajahi seribu satu kemungkinanku.
(Kalatidha, 2007, halaman 2)
Potret tentang kabut yang mengingatkan kita kepada Al Quran 41:11 dan Perjanjian Lama, Kitab Kejadian ayat 2, tersaji penuh kontemplatif. Bersandar pada kabut dia memercikkan permenungan yang masuk pada dimensi religiositas tentang hidup. Hidup jadi indah karena mengandung suspense berwarna abu-abu. Tidak putih, tidak hitam, tetapi ketegangan di antara keduanya. Permenungan ini mirip dengan, “Saya sendiri tidak tahu apakah salat saya yang notabene menyembah Allah itu diterima atau tidak. Puasa saya apakah diterima atau tidak. Justru keindahan beragama itu ada pada ketiadaan kepastian bahwa ibadah kita diterima atau tidak.” (Mohamad Sobary, Jaringan Islam Liberal 2006)
Kepiawaian untuk memberi roh pada objek itu dipadu dengan keelokan lain yang lebih ekspresif dan liar, misalnya pada bagian ‘Catatan Joni Gila 1’, ‘Catatan Joni Gila 2’, dan ‘Catatan Joni Gila 3’. Berikut sedikit kutipan yang menguatkan anggapan di atas.
Kulihat tembok putih. Apakah aku hanya mengira melihat perempuan yang membalas dendam itu, ataukah ia memang benar-benar telah kulihat tetapi segera melenyapkan diri? Kalau sudah begini kadang-kadang aku merasa diriku benar-benar gila. Terlalu banyak yang kulihat dan terlalu banyak yang kudengar dan tidak bisa kupastikan apakah itu semua bayanganku saja ataukah memang nyata. Belut goreng. Namun meski cuma bayangan aku bisa merasa tergila-gila kepada perempuan yang kubayangkan tampak begitu indah terbang di udara malam seperti kelelawar, yang hanya turun untuk mencabut nyawa orang sebagai hukuman. Orang gila sibuk dengan pikirannya sendiri dan hidup di dunianya sendiri? Gooooooooooollllllllllll! Gooolll! Ning-nong-ning-ning!
(Kalatidha, 2007, halaman 149)
Gaya cenderung semau gue tersebut muncul karena tuntutan situasi kegilaan. Pada bagian lain keelokan berubah total sesuai tuntutan situasional, misalnya pada bagian ‘Utopia Ketiadaan’.
Tiada kutemukan diriku yang terleburkan dalam cahaya – hanya gagasan tinggal bertahan dalam belantara impian yang tiada pernah terlepaskan. Gagasanku pecah, tersebar ke segala arah, seperti materi yang meledak jadi semesta, gagasan yang meledak dalam kesunyian, dan segala serpihan berubah jadi gambaran. Beterbangan dan melayang, segenap semesta penuh sesak dengan angan-angan. Wajah-wajah yang kukenal, wajah-wajah yang tak kukenal, makhluk-makhluk yang kukenal, makhluk-makhluk yang tak kukenal, orang-orang yang masih hidup, orang-orang yang sudah mati, arwah-arwah tanpa ujud, suara-suara, hanya suara-suara, bunyi-bunyi, dan bunyi-bunyi lagi, tenggelam dalam kesunyian...
(Kalatidha, 2007, halaman 177)
Gaya eksposisi diri yang puitis di atas atmosfernya mirip paparan suluk di jagat pedalangan. Hal ini dimungkinkan karena, meskipun sering menulis tentang metropolitan dan dunia lux, wawasan pewayangannya cukup kaya. Kebetulan juga SGA sangat mengidolakan R.A, Kosasih, kreator komik spesialis wayang. Gaya ini mengingatkan kita kepada cerpennya ‘Ngesti Kurawa’ dalam Manusia Kamar, 1988.
Dari sisi kandungan makna, kutipan paragraf di atas sungguh bernas. Mau tak mau, untuk menggali makna, kita akan terhubung ke "Apakah orang-orang yang tidak beriman itu tiada mengetahui, bahwa langit dan bumi itu dahulunya satu potong, lalu kami ceraikan antara keduanya, dan Kami jadikan dari air segala benda hidup. Tidakkah mereka percaya?" (Al Quran 21:30). Firman ini ‘kebetulan’ sesuai dengan Big Bang Theory yang popular di kalangan astronom modern tentang terjadinya bumi dan jagat raya.
Khasanah bahan penciptaan novel ini sangat kaya. Selain sedikit kutipan di atas, bahan pembentuk novel yang lain tampak dari banyaknya surat kabar lama, tuturan narasumber mantan tahanan dari Pulau Buru, nuansa komik, lagu Chuck Berry, potret seting yang apik, dan lukisan Kematian Marat karya Jacques-Louis David.
Meskipun bahan penulisan sangat kaya, meskipun karya fiksi, pertanggungjawaban ilmiahnya sangat baik. Banyak karya SGA (pada umumnya cerpen) disertai dengan footnote, meskipun kutipannya hanya sebatas objek kecil, kalimat, klausa, maupun frase. Pertanggungjawaban ilmiah ini juga tampak sekali pada Kalatidha: nama pemberi ide cerita dituliskan, koran-koran dikutipkan teks aslinya, lukisan Kematian Marat karya Jacques-Louis David, lagu Johnny B. Goode-nya Chuck Berry, dan biografi Chuck Berry dicantumkan dalam lampiran. Alternatif kreatif sastra semacam ini sangat langka di Indonesia. Kenyataan ini tidak lepas dari sosok Seno Gumira Ajidarma yang berprofesi sebagai dosen.
Sebagai kritikus film, referensi filmya sangat kaya, ada beberapa adegan yang mengingatkan kita kepada beberapa film, misalnya film musikalnya Alan Parker, The Wall dan Dead Poets Society-nya Peter Weir. Adegan ‘tokoh aku’ ketika di kelas menggambar palu arit kebetulan mirip dengan adegan dalam The Wall, seorang anak yang dipukul tangannya oleh gurunya gara-gara saat pelajaran malah menulis puisi. Tetapi kalau dianggap adegan dalam Kalatidha merupakan jiplakan film bernas tersebut memang terlalu serampangan, karena track record SGA saat sekolah – sebelum film itu dibuat -- memang sangat anti kejumudan, penyeragaman, dan kekakuan. Mungkin lebih tepat dikatakan, referensi, karakter diri, dan ilham merupakan silang sengkarut mozaik pewarna karya.
Sungguh, seperti Keating dalam Dead Poets Society yang menyuruh murid-muridnya menyobek ‘Introduction of Literature’ Pritchard yang analitis matematis, dan melemparkan sobekan-sobekan tersebut ke keranjang sampah, demikian juga adanya menghadapi Kalatidha. Berbekal pisau bedah analisis prosa saja, akan pejal. Seperti kita mafhum, kepejalan pisau bedah ini telah membebaskan karya sastra dari kemurungan, dan membebaskannya terbang sebagai karya sastra.*** (April 2008, Bengkel Panama SMP 5 Jogja, edi purnomo hudoyo)
Daftar Pustaka
Alkitab,
Alquran dan Terjemahannya. 1994. Jakarta: Departemen Agama RI.
Ajidarma, Seno Gumira. 1988. Manusia Kamar. Jakarta: CV Haji Masagung.
------------------------- . 2001. Dunia Sukab. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
------------------------- . 2002. Sebuah Pertanyaan untuk Cinta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2002. Sepotong Senja untuk Pacarku. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2002. Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong: 1996-1999.
Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia.
------------------------- (ed). 2003. Dua Kelamin bagi Midin. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
------------------------- . 2004. “Aku Kesepian, Sayang” “Datanglah, Menjelang Kematian”. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2007. Kalatidha. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2007. Linguae. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Eneste, Pamusuk (ed). 1982. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta:
PT Gramedia.
Mohamad, Goenawan. 2007. Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai. Jakarta: Katakita.
Nurhan, Kenedi (ed). 1999. Derabat. Jakarta: Harian Kompas.
Panama, April 2008, SMP 5 Yogyakarta.
Purwadi (et al.). 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Bina Media.
Pusat Data dan Analisa Tempo. 2004.
Sobary, Mohamad. 2006. Iman Itu untuk Manusia, bukan Sebaliknya. Jakarta: Jaringan Islam Liberal.
Sudjiman, Panuti (ed). 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Sumukti, Tuti. 2005. Semar: Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta: Galangpress.
Reportase Sang Petualang
tentang Pelecehan Kemanusiaan
Judul : Kalatidha
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Ide Cerita : Nugroho Suksmanto
Jenis : Novel
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
milu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
ndilalah karsa allah
begja-begjane kang lali
luwih begja kang eling lawan waspada
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)
Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma ini tak pelak mengingatkan kita akan Serat Kalatidha karya Raden Ngabehi Ranggawarsito. Karena berpijak pada serat ini, tak ayal, Kalatidha berpusar pada arus garapan utama pada umumnya seniman, yaitu tentang keruwetan, kerakusan, kerusakan. Bahkan, begitu membaca judulnya, pembaca akan terbayang isi novel.
Pilihan mainstream ini memang dekat sekali dengan track record Seno Gumira Ajidarma (SGA) sejak kecil yang ‘pemberontak’. Meskipun terlahir di lingkungan akademis UGM (putra Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, Guru Besar FMIPA UGM), SGA terkenal pembangkang di sekolah. Waktu sekolah dasar ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib kor sampai ia dipanggil guru. Waktu di SMP 5 Yogyakarta ia memberontak: tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong, dan memelopori pemakaian tas kresek, sehingga sebagian besar siswa memakai tas kresek di sekolah. Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, SGA tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman, Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor. Lancar. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, SGA pulang dan meneruskan sekolah. (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2004, Panama SMP 5 Jogja, 2008)
Tabiat melawan ‘kebijakan’ sekolah ini berpengaruh pada Kalatidha.
Ini kualami dalam pelajaran menggambar. Apabila kami diminta menggambar di atas sabak dengan grip, yang kalau salah bisa dibersihkan dengan ludah, maka bisa ditebak bahwa kami akan menggambar yang itu-itu saja: pemandangan sawah dengan dua gunung dan jalan membelah di tengahnya. Namun sejak berlangsung pencidukan di mana-mana, kami sekarang mempunyai gambar lain: itulah simbol bergambar belati pasukan komando baret merah yang menjadi pujaan di mana-mana. Setelah beberapa bulan aku pun bosan dan suatu kali menggambar yang lain: yakni lambang palu arit.
Aku belum selesai menggambar ketika seorang anak berteriak, bahwa aku menggambar palu arit. Mendadak seluruh anak laki-laki di kelas mengerumuni mejaku, bau keringat mereka yang apak selalu terasa kembali olehku. Aku merasa gerah, namun tetap tenggelam dalam keasyikanku. Wajah teman-temanku kurasa sudah sama ganasnya dengan orang-orang yang memburu orang sampai masuk kelas waktu itu.
“Bapakmu PKI , ya?”
“Bapakmu PKI?”
“Kamu PKI?”
Memang sudah sering kudengar istilah PKI waktu itu. Suatu hari ada seorang anak yang tak pernah datang lagi ke sekolah dan penjelasan yang kudengar hanyalah, “Bapaknya PKI.” Namun, aku sungguh tidak tidak tahu apa hubungan gambar palu arit itu dengan PKI.
(Kalatidha, 2007, halaman 22)
Kutipan di atas menyiratkan jiwa berontak SGA terhadap stagnasi dan kesewang-wenangan. Dengan kata lain, pemberontakan ini bukan rekaan pengarang dalam kamar semata, melainkan data empiris yang identik dengan SGA. Beberapa paragraf kutipan di atas menyaran pada reportase beberapa kejadian berbeda tetapi identik. Tudingan sebagai pengikut PKI di atas, meskipun berseting tumbangnya orde lama, tetapi dipopularkan lagi, terutama untuk legitimasi pencidukan aktivis atau demonstran yang bergejolak pada masa tuntutan reformasi. Di tengah gejolak ini SGA terseret di dalamnya, baik secara langsung maupun sekadar sebagai ‘saksi’. Secara eksplisit, keterlibatan SGA dalam suasana chaos ini tampak pada surat terbuka Seno Gumira Ajidarma.
Surat Terbuka
Seno Gumira Ajidarma
APAKAH TEROR SUDAH DIMULAI?
SURAT ini adalah surat terbuka untuk siapa saja yang masih
memiliki akal sehat, hati nurani, dan terutama nyali.
Seperti telah diketahui, saya melalui Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Yogyakarta telah mengajukan tuntutan kepada Panglima Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, sehubungan dengan Tragedi 3 April di Universitas
Gadjah Mada. Dalam peristiwa itu, anak saya, Timur Angin, 19, telah diseret
dan diinjak-injak kepalanya oleh para petugas keamanan.
Detil dari peristiwa itu, yang disampaikan oleh Timur
sendiri, telah saya tuliskan dalam Mengapa Anak Saya Diinjak-injak,
yang dimuat koran Bernas sebagai Anak Saya Timur Angin.
Dalam tulisan itu sudah terungkap, bahwa Timur hanya menonton, tidak memotret,
tidak berteriak-teriak, apalagi melempar batu. Sebagai bapaknya, bukankah
wajar saya menggugat Pangab, bukan sebagai pribadi, tapi sebagai pihak
yang bertanggung jawab atas atas kebijakan institusi angkatan bersenjata
ini? Saya hanya menuntut agar kesalahan ini diakui, dan agar minta
maaf kepada korban yang tidak bersalah.
Saya tidak bicara tentang insiden, saya tidak bicara tentang
salah pentung, tentang salah pukul, tentang ketidaksengajaan -- siapakah
yang punya akal sehat dan hati nurani setuju bahwa menginjak-injak kepala
orang lain dengan sengaja merupakan kelakuan yang beradab?
Apakah tindakan semacam ini memang dibenarkan dalam pendidikan
dan kebijakan bagi para petugas keamanan? Apalagi kepada orang yang tidak
bersenjata dan bersalah. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih
dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada Kolonel (Pol) Chaerul, yang telah
berusaha keras melindungi Timur ketika sedang digebuki, meskipun penganiayaan
itu sempat berlangsung terus.
SAYA telah mengajukan tuntutan, dan hal itu telah dipublikasikan.
Sehubungan dengan hal itu banyak pihak telah memperingatkan saya bahwa
"seperti yang lain-lain" pasti akan ada teror. Maksudnya? Tekanan tidak
resmi supaya saya mencabut gugatan.
Saya bukan orang yang begitu beraninya melawan teror,
melainkan saya masih percaya bahwa jiwa ksatria seperti yang ada pada diri
Kolonel (Pol) Chaerul belum hilang sama sekali dari ABRI milik rakyat Indonesia
itu. Namun apakah yang telah terjadi?
Pagi ini, Selasa 7 April 1998, sekitar pukul 10.00. Dua
orang telah melakukan tindakan "maling" di rumah orangtua saya di Bulaksumur.
Di rumah hanya ada dua orang waktu itu, saya dan ayah saya. Saya membaca
di dalam kamar dan ayah saya sibuk menerima telepon. Pembantu rumah tangga,
Yuni, sedang ke toko membeli kopi.
Ketika Yuni datang, ada seseorang berdiri di pintu samping.
Yuni terus masuk karena dia pikir barangkali tamu. Di dalam, ternyata sudah
ada orang lain yang tak dikenalnya menjinjing sesuatu. Yuni langsung masuk
ke kamarnya dan ternyata kamarnya itu sudah berantakan dan terobrak-abrik.
Tas Yuni terletak di bawah, Yuni langsung memeriksa. Ternyata uang Rp 125.000
dan kalung emas sudah hilang. Yuni langsung berteriak-teriak. Saya meloncat
keluar. Bersama Yuni saya mengejar keluar. Yuni menunjuk orangnya yang
tadinya berjalan tenang-tenang dan langsung lari. Saya berteriak "Maling!
Maling!" dan banyak orang mengejar.
Kedua orang itu langsung meloncat naik bus Kobutri dari
arah Jalan Kaliurang ke selatan. Saya dan orang-orang tidak melanjutkan
pengejaran karena Yuni tergelimpang di tepi jalan sambil menangis
menjerit-jerit.
Kami menolongnya. Yuni kemudian pingsan.
Terus terang saya merasa terteror. Setelah siuman Yuni
menangis terus menerus. Kedua orang itu tampak necis, yang satu mengenakan
baju batik lengan panjang malah, dan rambutnya cukuran bros. Saya berdoa
sesungguh-sungguhnya, bahwa kedua orang ini maling beneran. Yang sudah
cukup puas dengan kalung emas dan uang Rp 125.000. Kalau ini hanya
maling-malingan,
apakah saya akan kuat menghadapinya? Rumah itu hanya berpenghuni dua orang
tua, masing-masing berusia 78 dan 76 tahun, bersama Yuni dan anak saya.
Apakah saya harus mengerahkan orang-orang untuk berjaga 24 jam?
Saya tidak menuduh, tidak melakukan insinuasi, dan sungguh-sungguh
percaya kepada jiwa ksatria aparat keamanan -- kecuali yang terbukti melakukan
penganiayaan.
Saya menulis surat terbuka karena saya merasa tidak berdaya,
sendirian, seolah-olah menghadapi ancaman dari langit. Benarkah saya harus
mencabut gugatan saya? Bagaimana tanggung jawab saya terhadap hidup saya
kalau saya tidak melakukan kewajiban yang harus dijalankan seorang bapak?
Lantas bagaimana dengan jaminan keselamatan saya dan keluarga saya?
Surat ini adalah surat terbuka kepada siapa saja yang
memiliki akal sehat, hati nurani, dan secuil nyali. Saya sendiri tidak
terlalu yakin dengan besar kecilnya nyali saya. Tapi benarkah saya harus
mundur tanpa mendengar nada maaf dan penyesalan? Saya hanya memberi kesempatan
institusi militer untuk melakukan sikap terhormat. Apakah saya salah? Apakah
saya keliru? Kawan-kawan dari LBH mengatakan tidak. Suara hati saya juga
mengatakan tidak. Saya ingin mendengar pendapat Anda.
(Seno Gumira Ajidarma)
Surat tersebut menunjukkan kegelisahan batin dan pikiran terkait dengan kondisi kemanusiaan yang dilecehkan oleh pola militerisme. Sebagai penguat anggapan ini, Mohamad Sobary, 2002, berpendapat, “Fungsi kepujanggaan Seno memang mewakili perasaan maupun aspirasi kita. Sekarang kita sedang berada dalam gelap, dan Seno berteriak tentang kegelapan itu, dan kita pun dibikinnya lebih sadar secara politik bahwa kegelapan merupakan hasil sebuah proses sejarah, dan kita pun tahu, sejarah – dulu dan sekarang – selalu dan selalu merupakan hasil rekayasa kaum elite untuk melindungi kepentingan mereka. Dan kita tertipu terus-menerus.”
Karena SGA seorang wartawan, kegelisahan ini diikuti dengan proses hunting, baik mencari data dari narasumber maupun sebagai saksi mata, dan mengolahnya sebagai karya yang kontemplatif. Proses kreatif ini mengingatkan kita kepada banyak karyanya yang lain, misalnya, ‘Tujuan: Negeri Senja’ dan Saksi Mata. Demi Saksi Mata, SGA memotret langsung di Timor Timur.
Kerangka Kalatidha adalah kemanusiaan. Meskipun cenderung membela ‘komunis’ yang dilecehkan kemanusiaannya, Kalatidha tidak menjadi pendagingdarahan faham. Kalatidha tidak terjatuh ke dalam propaganda faham atau aliran filsafat. Posisi ‘komunis’ di sini sama dengan warga Timor-Timur, demonstran, murid, seniman, istri, pacar, wartawan, dan lain-lainnya dalam karyanya yang lain.
Meskipun menebar kegelisahan dalam diri, SGA tidak lantas menjadi kreator dalam kamar yang murni mengandalkan ilham dan kontemplasi, kemudian mereka-rekanya menjadi sebuah cerita yang mengharu biru. Selain hunting dan memotret langsung, terkadang dia menggali dari sumber-sumber lain. Bahkan Kalatidha ini, meskipun bersumber pada ide cerita Nugroho Suksmanto, beberapa adegan merupakan deskripsi dramatis Serat Kalatidha-nya Ranggawarsito.
Dasar karoban pawarta
bebaratun ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri
yen pinikir sayekti
mundhak apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali
lamun tuwuh dadi kekembanging beka
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)
Persoalannya hanyalah karena
kabar angin yang tiada menentu
akan ditempatkan sebagai pemuka
tetapi akhirnya sama sekali tidak benar
sebenarnya kalau direnungkan
apa sih gunanya menjadi pemimpin
hanya akan membuat kesalahan-kesalahan
lebih-lebih bila ketambahan lupa diri
hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)
Bait dalam Serat Kalatidha tersebut dideskripsikan dengan sangat dramatis di dalam Kalatidha-nya Seno Gumira Ajidarma. Berdasar pada serat tersebut tampak bahwa sumber permasalahan adalah kabar yang tidak sepenuhnya jujur. Pemimpin yang lupa diri menggunakan kabar sebagai senjata untuk meraih atau memperkokoh kekuasaan. Oleh karena itu tak mengherankan kalau SGA mengutipkan sebanyak 22 berita dari koran yang beredar pada era akhir Soekarno dan fase pemberantasan ‘komunis’, yang didominasi surat kabar Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, serta beberapa dari Bintang Timur dan Kompas. Berita dari rezim tersebut selanjutnya menggerakkan aparat dan masyarakat untuk melangsungkan serangkaian pembasmian dan teror.
Pemunculan masalah dalam alur Kalatidha adalah keperkasaan kabar sebagai legitimasi penghakiman: anggota PKI atau bukan. Secara spesifik permasalahan muncul karena tersiar kabar bahwa terdapat ‘komunis’ di dalam sebuah keluarga. Rumah dibakar, seisi rumah dibantai, bahkan kedua anak perempuan kembar keluarga itu pun jadi korban: 1 meninggal dan 1 gila.
Sebagai penguat ilustrasi, selain pelecehan kemanusiaan yang terentang sepanjang alur utama, banyak dilaporkan pelecehan kemanusiaan yang lain, misalnya,
Aku mendekati mereka (mantan tahanan politik, Penulis), kutawarkan penampungan di rumahku. Di sanalah mereka bercerita.
“Saya tidak tahu apa-apa sebenarnya soal Gestapu. Saya memang anggota Cakrabirawa dan kenal Untung—tapi apa salahnya kalau saya kenal Untung? Hampir setiap hari sebelum diberangkatkan ke Pulau Buru saya disiksa dan disuruh mengaku. Saya tidak tahu harus mengaku apa dan kalaupun tahu kenapa saya harus mengaku? Katanya saya mengetahui rencana penculikan dan pembunuhan para jenderal. Tentu saja saya tidak tahu. Setiap hari punggung saya ditetesi lelehan ban sepeda yang dibakar. Jangan ditanya seperti apa rasanya. Seabagai anggota pasukan pengawal istana, saya bukan tidak dilatih untuk menahan penderitaan, yang saya tidak mengerti bagaimana orang-orang militer ini tahu betul berbagai cara penyiksaan.
.............
“Karena segala siksaan takkan bisa membuka mulut saya, mereka gunakan lain cara yang tidak pernah saya bayangkan ada. Saya masih ditindih ketika pengecut lain datang membawa seorang tahanan wanita. Ia sedang hamil dan katanya ia Gerwani. Saya harus melihat bagaimana ia ditelanjangi dan kakinya dibuka paksa, agar sangkur pada bayonet bisa dimasukkan ke kemaluannya. Saya lihat sangkur itu sudah berdarah ketika darah saya naik dan suatu kekuatan luar biasa mendadak merasuki saya, meja itu berhasil saya balik dan menyungkurkan empat pengecut yang sejak tadi ongkang-ongkang sambil tertawa.
“Saya berdiri dan meninju pemegang bayonet itu sampai pingsan. Wanita malang itu sudah sejak tadi pingsan. Saya kemudian tak tahu apa yang terjadi karena sebuah pentungan dari belakang juga membuat saya pingsan...
(Kalatidha, 2007, halaman 62)
Seperti disebutkan di atas, banyak ilustrasi penguat alur utama. Bahkan bisa dikatakan novel ini lebih banyak mewartakan kisah maupun sketsa nonalur utama. Alur utama sebenarnya simpel: keluarga dibantai, menyisakan satu putri gila – putri gila dijadikan objek giliran perkosaan rutin di rumah sakit jiwa – saudara kembar putri gila yang mati arwahnya merasuk ke dalam raga si putri gila – si putri gila jadi heroine sakti – pembalasan dendam.
Tokoh aku dalam novel ini pun tidak terkait langsung dengan alur utama. Hubungannya dengan pendekar putri sekadar secret admirer sejak masih bocah, sejak si pendekar belum dilanda musibah kezaliman.
Posisi ‘tokoh aku’ sebatas pewarta. Posisi ini sangat aman karena dia bisa melaporkan segala bentuk kegilaan dan paradoksitas dalam rentang zaman. Tetapi karena kebebasan mewartakan ini, Kalatidha lebih menyerupai kumpulan cerpen daripada novel. Hubungan antarbab dalam novel sangat dipaksakan. Kondisi ini didukung kenyataan bahwa Seno Gumira Ajidarma lebih dikenal sebagai raja cerpen Indonesia modern daripada novelis. Dengan kata lain, jika dikirimkan, ada beberapa bab dalam novel ini -- yang penulis yakin -- dapat dimuat di media massa patron sastra serius skala nasional.
Fungsionalitas masing-masing kisah perangkai novel ini sangat longgar: kisah ‘tokoh aku’, catatan Joni Gila, kisah kakak ‘tokoh aku’, negeri cahaya, pawai cahaya, dan lain-lain. Masing-masing kisah dapat menjadi satu cerita yang solid.
Atribut yang berdesak-desakan di pundak SGA menyebabkan celah kemungkinan terjadinya kondisi di atas. Seno Gumira Ajidarma yang pada usia 17 tahun puisinya sudah dimuat di Horizon, adalah sosok ‘petualang’, wartawan, fotografer, cerpenis, kritikus film, dramawan, dan dosen matakuliah Kajian Media di FFTV Institut Kesenian Jakarta dan Kajian Sinema di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Selain atribut di atas, SGA adalah sosok penggemar komik Indonesia, misalnya Djair, Ganes Th, Jan Mintaraga, Teguh Santosa, Wied NS, Hasmi, R.A. Kosasih, dan Hans Jaladara. Bahkan gelar doktor dalam bidang Ilmu Susastra dia peroleh setelah berhasil mempertahankan disertasinya dalam sidang terbuka Senat Akademik UI berjudul Tiga Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan. Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, dengan kopromotor Dr. Melani Budianta dan Dr. Rahayu S. Hidayat. Para penguji terdiri dari Prof. Dr. Primadi Tabrani (Dosen Seni Rupa ITB), Dr. Ignas Kleden, Dr. Lilawati Kurnia dan Prof.Dr. Toeti Herati Noerhadi. Kecintaannya kepada komik ini selain mengantarnya mendapat gelar doktor juga memberi sumbangan kekayaan dalam menulis cerita. Hal ini tampak pada beberapa karyanya, tak terkecuali Kalatidha ini.
Putaran pertama mengubah busana pasien rumah sakit jiwanya dengan busana seorang perempuan pendekar berbaju pangsi dan celana tiga per empat gombrong yang terbayangkan akan mampu melenting dari genting ke genting. Putaran kedua memberikan cahaya dan daya ke dalam tubuhnya sehingga segenap luka serta segala dampak keteraniayaannya di rumah sakit jiwa bagaikan sama sekali tiada berbekas. Putaran ketiga mendandaninya menjadi perempuan indah tiada tara dengan ikat kepala yang merapikan rambut panjang ikal mayangnya, selendang terikat di pinggang yang menunjukkan kelangsingan dan kerampingan tubuh perkasanya, lengkap dengan alas kaki yang terikat tali temali kulit melingkar dan menghiasi betis terindah yang pernah kulihat. Putaran keempat memberinya perlengkapan sejumlah senjata yang melekat dengan segala warangka di tubuhnya, mulai dari dua pedang panjang yang saling bersilang di punggung, dua belas pisau terbang dalam sabuk, yang melingkari pinggang, dua bilah kapak tergantung di pinggang kiri dan kanan.
(Kalatidha, 2007, halaman 105-106)
Deskripsi di atas tak pelak mengingatkan kita kepada pendekar wanita kreasi Djair, Jan Mintaraga, Ganes Th, dan Hans Jaladara. Deskripsi di atas diikuti serangkaian sepak terjang indah si pendekar wanita dalam membunuh ratusan peleceh kemanusiaan, yang sungguh mampu membangkitkan kenangan indah kita kepada zaman keemasan komik asli Indonesia.
Akan halnya citra tokoh utama dalam cerita ini, seperti digambarkan dalam kutipan di atas, sungguh elok. Seperti kita ketahui, sebagian besar wanita dalam karya SGA memang indah, misalnya Linguae, Dunia Sukab, Sepotong Senja untuk Pacarku, dan Sebuah Pertanyaan untuk Cinta. Anggapan ini didukung pengakuan SGA.
Penamaan tokoh maupun seting sesederhana citra tokoh di atas. Nama tokoh utama maupun pendukung utama tidak disebutkan. Cukup ‘aku’, ‘gadis kecil’, dan ‘perempuan gila’. Tokoh yang bernama adalah tokoh pembantu atau beberapa tokoh yang porsi perannya relatif kecil, misalnya Joni si Malin Kundang, Ranuwisid, Bu Haroen, Bu Sam, dan Si Puss. Seting tempat demikian juga, seperti kutipan berikut ini.
Di barat daya kota S terdapatlah daerah P. Nama ini berasal dari kata F, tuan tanah Belanda penguasa wilayah itu di masa lalu. Di seberang P terdapat hamparan ladang pertanian, di antara P dan ladang ini terdapatlah M, wilayah yang dimaksudkan sebagai pembatas nan rapi, tetapi setelah ditinggalkan Belanda menjadi daerah tak bertuan. Ke wilayah itulah berdatangan para pendatang dan berubahlah M yang berkelok memanjang itu menjadi padat tak terkendali.
Semasa kecil aku tinggal di P dan sungai yang memisahkan P dan M menjadi wilayah pengembaraanku.
........
(Kalatidha, 2007, halaman 9-10)
Bagian pemaparan seting tersebut sebenarnya sangat penting, karena dengan penyebutan nama seting yang lebih spesifik, pembaca dapat lebih membayangkan detail seting. Tetapi, begitulah, di tangan SGA penamaan hanya disingkat sedemikian rupa. Penyepelean nama ini diakui SGA dalam catatannya tentang Dunia Sukab, 2001, “Padahal dalam fiksi pun Sukab bukanlah nama seorang tokoh. Sukab hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekadar karena saya malas “mengarang”, menyesuai-nyesuaikan nama dengan karakter tokoh supaya meyakinkan dan lain sebagainya. Setiap kali saya kesulitan mencari nama, saya pasang saja nama Sukab. “Toh, sama-sama fiktif ini,” pikir saya, “kenapa harus susah-susah cari nama?”
...............
Tapi apalah artinya sebuah nama? Judul-judul, nama-nama, kata-kata, semuanya berbaur dalam berbagai peristiwa, membentuk dunia kita.......”
Memang, berdasar sedikit ulasan di atas tampak bahwa Seno Gumira Ajidarma dalam Kalatidha kurang tekun untuk menggarap sisi fungsionalitas alur, seting, dan penokohan. Sehubungan dengan alur, seperti karya SGA yang lain, Linguae, misalnya, dia tidak memilih resep pada umumnya penulis prosa yang memulai cerita dengan elemen pengerut kening dan mengakhiri dengan jurus penggedor hati. Meskipun demikian, Kalatidha tidak lantas menjadi karya sastra masygul karena punya pelunasan di dimensi lain. Andalan tersebut kembali ke jatidiri Seno yang petualang, wartawan, fotografer, kritikus film, dan dosen. Karena unsur pembentuk Seno cukup variatif, karyanya pun demikian. Variasi unsur pembentuk tersebut menghasilkan keelokan gaya cerita, kekayaan bahan tulisan, dan pertanggungjawaban ilmiah. Berbekal, minimal, tiga kepiawaian di atas, tema umum yang dipilih dalam Kalatidha, kemanusiaan, tersajikan.
Banyak pengamat berpendapat bahwa gaya bercerita SGA sangat elok. Keelokan ini membentuk sebuah lanskap yang di dalamnya terdapat berbagai suasana hati, situasi, dan misi yang masing-masing memiliki keelokan yang khas. Dengan kata lain, keelokan itu bisa menggelikan, menyedihkan, mengesankan, menggelisahkan, meromantiskan, atau memualkan. Seperti karya-karyanya yang lain, Kalatidha menunjukkan keelokan itu. Banyak bagian cerita tersaji dengan puitis, kontemplatif, dan mengendap di dalam, misalnya pada bagian ‘Kabut di Hutan Bambu’, ‘Masih Sekitar Hutan Bambu’, ‘Pawai Cahaya’, ‘Negeri Cahaya’, dan ‘Sang Mata di Tepi Pantai’. Berikut sedikit kutipan dari bagian ‘Kabut di Hutan Bambu’.
Pada mulanya memang kabut, masih akan selalu kabut, dan sebaiknya memang tetap saja kabut, kabut, dan kabut, yang kekelabuannya tiada pernah dan tiada perlu memberikan sesuatu yang jelas. Apalagi yang menarik dari hidup ini jika segala sesuatu sudah begitu jelas dan begitu pasti? Aku adalah anak kabut, dilahirkan oleh kabut, hidup di dalam kabut, dan atas nama kabut kupertaruhkan hidup dan matiku, pahit dan manisku, suka dan dukaku, kebahagiaan dan kepahitanku, kehidupan dan kematianku dalam segala kemungkinan yang telah diciptakan Tuhan untuk dijelajahi olehku. Kabut adalah duniaku – dalam kabut itulah aku mengembara dan menjelajahi seribu satu kemungkinanku.
(Kalatidha, 2007, halaman 2)
Potret tentang kabut yang mengingatkan kita kepada Al Quran 41:11 dan Perjanjian Lama, Kitab Kejadian ayat 2, tersaji penuh kontemplatif. Bersandar pada kabut dia memercikkan permenungan yang masuk pada dimensi religiositas tentang hidup. Hidup jadi indah karena mengandung suspense berwarna abu-abu. Tidak putih, tidak hitam, tetapi ketegangan di antara keduanya. Permenungan ini mirip dengan, “Saya sendiri tidak tahu apakah salat saya yang notabene menyembah Allah itu diterima atau tidak. Puasa saya apakah diterima atau tidak. Justru keindahan beragama itu ada pada ketiadaan kepastian bahwa ibadah kita diterima atau tidak.” (Mohamad Sobary, Jaringan Islam Liberal 2006)
Kepiawaian untuk memberi roh pada objek itu dipadu dengan keelokan lain yang lebih ekspresif dan liar, misalnya pada bagian ‘Catatan Joni Gila 1’, ‘Catatan Joni Gila 2’, dan ‘Catatan Joni Gila 3’. Berikut sedikit kutipan yang menguatkan anggapan di atas.
Kulihat tembok putih. Apakah aku hanya mengira melihat perempuan yang membalas dendam itu, ataukah ia memang benar-benar telah kulihat tetapi segera melenyapkan diri? Kalau sudah begini kadang-kadang aku merasa diriku benar-benar gila. Terlalu banyak yang kulihat dan terlalu banyak yang kudengar dan tidak bisa kupastikan apakah itu semua bayanganku saja ataukah memang nyata. Belut goreng. Namun meski cuma bayangan aku bisa merasa tergila-gila kepada perempuan yang kubayangkan tampak begitu indah terbang di udara malam seperti kelelawar, yang hanya turun untuk mencabut nyawa orang sebagai hukuman. Orang gila sibuk dengan pikirannya sendiri dan hidup di dunianya sendiri? Gooooooooooollllllllllll! Gooolll! Ning-nong-ning-ning!
(Kalatidha, 2007, halaman 149)
Gaya cenderung semau gue tersebut muncul karena tuntutan situasi kegilaan. Pada bagian lain keelokan berubah total sesuai tuntutan situasional, misalnya pada bagian ‘Utopia Ketiadaan’.
Tiada kutemukan diriku yang terleburkan dalam cahaya – hanya gagasan tinggal bertahan dalam belantara impian yang tiada pernah terlepaskan. Gagasanku pecah, tersebar ke segala arah, seperti materi yang meledak jadi semesta, gagasan yang meledak dalam kesunyian, dan segala serpihan berubah jadi gambaran. Beterbangan dan melayang, segenap semesta penuh sesak dengan angan-angan. Wajah-wajah yang kukenal, wajah-wajah yang tak kukenal, makhluk-makhluk yang kukenal, makhluk-makhluk yang tak kukenal, orang-orang yang masih hidup, orang-orang yang sudah mati, arwah-arwah tanpa ujud, suara-suara, hanya suara-suara, bunyi-bunyi, dan bunyi-bunyi lagi, tenggelam dalam kesunyian...
(Kalatidha, 2007, halaman 177)
Gaya eksposisi diri yang puitis di atas atmosfernya mirip paparan suluk di jagat pedalangan. Hal ini dimungkinkan karena, meskipun sering menulis tentang metropolitan dan dunia lux, wawasan pewayangannya cukup kaya. Kebetulan juga SGA sangat mengidolakan R.A, Kosasih, kreator komik spesialis wayang. Gaya ini mengingatkan kita kepada cerpennya ‘Ngesti Kurawa’ dalam Manusia Kamar, 1988.
Dari sisi kandungan makna, kutipan paragraf di atas sungguh bernas. Mau tak mau, untuk menggali makna, kita akan terhubung ke "Apakah orang-orang yang tidak beriman itu tiada mengetahui, bahwa langit dan bumi itu dahulunya satu potong, lalu kami ceraikan antara keduanya, dan Kami jadikan dari air segala benda hidup. Tidakkah mereka percaya?" (Al Quran 21:30). Firman ini ‘kebetulan’ sesuai dengan Big Bang Theory yang popular di kalangan astronom modern tentang terjadinya bumi dan jagat raya.
Khasanah bahan penciptaan novel ini sangat kaya. Selain sedikit kutipan di atas, bahan pembentuk novel yang lain tampak dari banyaknya surat kabar lama, tuturan narasumber mantan tahanan dari Pulau Buru, nuansa komik, lagu Chuck Berry, potret seting yang apik, dan lukisan Kematian Marat karya Jacques-Louis David.
Meskipun bahan penulisan sangat kaya, meskipun karya fiksi, pertanggungjawaban ilmiahnya sangat baik. Banyak karya SGA (pada umumnya cerpen) disertai dengan footnote, meskipun kutipannya hanya sebatas objek kecil, kalimat, klausa, maupun frase. Pertanggungjawaban ilmiah ini juga tampak sekali pada Kalatidha: nama pemberi ide cerita dituliskan, koran-koran dikutipkan teks aslinya, lukisan Kematian Marat karya Jacques-Louis David, lagu Johnny B. Goode-nya Chuck Berry, dan biografi Chuck Berry dicantumkan dalam lampiran. Alternatif kreatif sastra semacam ini sangat langka di Indonesia. Kenyataan ini tidak lepas dari sosok Seno Gumira Ajidarma yang berprofesi sebagai dosen.
Sebagai kritikus film, referensi filmya sangat kaya, ada beberapa adegan yang mengingatkan kita kepada beberapa film, misalnya film musikalnya Alan Parker, The Wall dan Dead Poets Society-nya Peter Weir. Adegan ‘tokoh aku’ ketika di kelas menggambar palu arit kebetulan mirip dengan adegan dalam The Wall, seorang anak yang dipukul tangannya oleh gurunya gara-gara saat pelajaran malah menulis puisi. Tetapi kalau dianggap adegan dalam Kalatidha merupakan jiplakan film bernas tersebut memang terlalu serampangan, karena track record SGA saat sekolah – sebelum film itu dibuat -- memang sangat anti kejumudan, penyeragaman, dan kekakuan. Mungkin lebih tepat dikatakan, referensi, karakter diri, dan ilham merupakan silang sengkarut mozaik pewarna karya.
Sungguh, seperti Keating dalam Dead Poets Society yang menyuruh murid-muridnya menyobek ‘Introduction of Literature’ Pritchard yang analitis matematis, dan melemparkan sobekan-sobekan tersebut ke keranjang sampah, demikian juga adanya menghadapi Kalatidha. Berbekal pisau bedah analisis prosa saja, akan pejal. Seperti kita mafhum, kepejalan pisau bedah ini telah membebaskan karya sastra dari kemurungan, dan membebaskannya terbang sebagai karya sastra.*** (April 2008, Bengkel Panama SMP 5 Jogja, edi purnomo hudoyo)
Daftar Pustaka
Alkitab,
Alquran dan Terjemahannya. 1994. Jakarta: Departemen Agama RI.
Ajidarma, Seno Gumira. 1988. Manusia Kamar. Jakarta: CV Haji Masagung.
------------------------- . 2001. Dunia Sukab. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
------------------------- . 2002. Sebuah Pertanyaan untuk Cinta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2002. Sepotong Senja untuk Pacarku. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2002. Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong: 1996-1999.
Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia.
------------------------- (ed). 2003. Dua Kelamin bagi Midin. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
------------------------- . 2004. “Aku Kesepian, Sayang” “Datanglah, Menjelang Kematian”. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2007. Kalatidha. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
------------------------- . 2007. Linguae. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Eneste, Pamusuk (ed). 1982. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta:
PT Gramedia.
Mohamad, Goenawan. 2007. Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai. Jakarta: Katakita.
Nurhan, Kenedi (ed). 1999. Derabat. Jakarta: Harian Kompas.
Panama, April 2008, SMP 5 Yogyakarta.
Purwadi (et al.). 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Bina Media.
Pusat Data dan Analisa Tempo. 2004.
Sobary, Mohamad. 2006. Iman Itu untuk Manusia, bukan Sebaliknya. Jakarta: Jaringan Islam Liberal.
Sudjiman, Panuti (ed). 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Sumukti, Tuti. 2005. Semar: Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta: Galangpress.
Guru
Di dalam bilik-bilik kelas anak-anak tak berwajah duduk tegak. Mereka serempak berteriak menirukan apa yang telah dilafalkan guru mereka, “We don’t need no education! We don’t need no close control!” Selanjutnya pasukan tegak dingin ini berdiri berurutan di atas eskalator yang membawa mereka memasuki mesin pelumat raksasa.
Demikianlah sejumput adegan videoclip The Wall Pink Floyd.
Satire yang dilantunkan David Gillmour dan konco-konconya ini memang menjadi masterpiece mereka. Sebuah refleksi natural manusiawi yang gaungnya selayaknya mampu menggedor dinding-dinding kaum pemikir pendidikan.
Apa boleh buat, pendidikan – bukan persekolahan – memang paling asyik untuk dikasak-kusuki. Karena, bagaimanapun, adanya dunia seperti sekarang adalah produk pendidikan. Sehingga amat wajar jika ada yang menggerutu, “Sungguh nonsense reformasi di Indonesia ini jika tidak dimulai dari reformasi pendidikan.”
Reformasi, ya, pembentukan kembali. Hanya sayangnya kata ‘kembali’ ini sekarang menjadi bias. Kata sederhana nan indah ini menjadi rumit. Kian diotak-atik, kian ruwet. Kita pun terengah-engah tanpa tahu jalan kembali di dalam labyrinth buatan kita sendiri. Sambil terengah-engah tanpa tahu jalan pulang – atau memang tidak ingin pulang? – kadang-kadang kita berpikir, agar terampil perlu keterampilan proses, lha kok smart solution soal pilihan ganda. Katanya otonomi, lha kok penyeragaman. Katanya hanya salah satu bagian alat pendidikan, lha kok menjadi tujuan pendidikan. Katanya bangsa yang menjunjung tinggi seni budaya, tetapi seberapa besar pikiran dan dana tercurah untuk bidang ini jika dibandingkan untuk bidang yang lain. Dan masih banyak paradoksitas yang lumrah muncul dalam pemikiran. Yah, konon kabarnya eksistensi manusia berpendidikan dimulai dari daya melitnya.
Kembali, ya, kembali. Mungkin ada baiknya istirah sejenak di bawah pohon rindang di samping kali kemericik sambil menikmati kicau burung papasan dan membayangkan para guru kita dahulu, misalnya, Zoroaster, Kong Hu Chu, Budha, Mahavira, Isa, Muhammad, Sunan Kalijaga, Mohandas Gandhi, dan Ibu Theresia. Mereka adalah pendidik sejati. Meskipun terhijab oleh ruang dan waktu, plot pendidikan mereka sama: berpijak pada ketulusan, metode kesatuan antara akal, seni, kasih sayang, dengan tujuan pendidikan: ketenteraman hati dalam bingkai kemanusiaan. Sepertinya tak ada target pendidikan lain yang melebihi target tersebut. Mereka adalah agen perubahan. Di bawah pohon yang rindang, beralas rerumputan, guru dan murid-murid tak beralas kaki itu berkolaborasi. Mereka mengukir, tidak menyihir.
Perubahan tidak berarti mutant tetapi kembali menuju hakikat manusia. Kalau pendidikan hanya dipandang dari sudut industri, esok pagi para pengambil keputusan di bidang pendidikan bisa merumahkan guru. Karena pengerahan guru selama ini ternyata tidak efektif dan sekadar penghambur-hamburan. Lebih baik membuka bimbingan belajar untuk menghadapi UAN, kursus komputer, bahasa Inggris, menjahit, bengkel, dan montir, misalnya. Alokasi waktu dan dana jauh lebih sedikit dibanding sekolah formal, tetapi output keterampilannya dijamin andal. Apalagi jika semua sudah serba-cyber, murid tidak lagi membutuhkan manusia. Anak-anak cukup berinteraksi dan bercanda dengan skrup, kabel, IC, microchip, dan perangkat sejenisnya. Tak perlu kasih sayang dan apresiasi terhadap sesama.
Kalau tidak, sejarah selalu berulang. Formasi otoritas pendidikan sering salah menafsirkan kepandaian, kepiawaian, bahkan nasib sesorang. Otoritas ini pernah menyepak Thomas Alva Edison keluar dari sekolah, karena menganggap anak genius ini luar biasa dungunya. Praktis hanya tiga bulan anak ini menikmati pendidikan formal. Jadi, tidaklah terlalu mengherankan kalau Thomas kecil melakukan eksperimen sendiri. Dia menduga bahwa telur menetas karena suhu yang hangat. Dan ibunya pun kaget, anak imut ini mengerami telur ayam. Hasil dari daya melitnya, sebelum usianya menyentuh 35 tahun dia sudah kesohor. Dari kejeniusannya lahir 1.093 barang baru buat orang sezamannya.
Di Italia ‘otoritas pendidikan’ juga memakan korban. Kali itu korbannya Galileo Galilei. Ilmuwan kondang yang putus kuliah karena miskin itu dipenjarakan di rumahnya sendiri karena teorinya bertentangan dengan teori yang dianut ‘otoritas’ meskipun sekarang orang bisa membuktikan teori mana yang benar. Amatlah beralasan kalau generasi berikutnya para pelaku pendidikan membaptis ilmuwan kelahiran Pisa ini sebagai simbol pemberontakan terhadap dogma dan kekuasaan otoriter yang membelenggu kemerdekaan berpikir.
Nun jauh di belahan anak benua sana sejarah setali tiga uang. Kali itu yang tertimpa adalah Rabindranath Tagore. Semasa kanak dia menyebut sekolah sebagai “siksaan yang tak tertahankan.” Tak heran bila pada usia tiga belas tahun dia berhenti menjadi siswa dan beralih menjadi penyair, kemudian menjadi pemikir India paling kesohor hingga detik ini: orang Asia pertama yang mendapatkan hadiah Nobel untuk kesusastraan. Tahun 1924 dia berbicara di depan para guru di Tiongkok, “Sering aku hitung tahun-tahun yang harus kujalani sebelum aku memperoleh kemerdekaanku. Aku membayangkan sihir gaib yang mampu mengubahku serta-merta menjadi dewasa. Baginya, sekolah seperti ruang tunggu yang pengap, sebelum seorang anak boleh pergi setelah dianggap ‘jadi’.
Ketiga anak tersebut mungkin hanya salah tiga anak di antara miliaran anak lain yang memiliki beban psikologis sehubungan dengan pendidikan. Saat ini mungkin mereka hidup lagi di kelas kita. Mereka bertanya, menyapa, menyalami, dan matanya menebar kasih sayang. Bahkan tidak jarang kita dapat banyak pengetahuan dari mereka. Anak-anak surga menebar itu semua dengan tulus. Mereka tidak perlu teori etika dan adab yang njlimet. Cukup satu kata: ketulusan. Mereka langsung bisa menerjemahkan dan mempraktikkan. Berbekal kata sederhana ini mungkin akan kita jelang masa emas pendidikan sepeti masa lalu. Di pagi hari, di ujung gang anak-anak menanti, berebut menyalami, berebut membawakan tas, dan berebut menuntunkan sepeda onthel kita.
Kembali, di bawah pohon rindang di samping kali kemericik sambil menikmati kicau burung papasan, dunia pendidikan jadi sangat simpel. Pendidikan dalam rangka memanusiakan. Pendidikan semacam katarsis mengasyikkan untuk menuju pembebasan. Pendidikan adalah pembuka jendela bagi murid. Guru tidak sekadar membisikkan definisi hangatnya cahaya matahari. Tetapi, biarkan murid sendiri yang menghirup segarnya udara, merasakan hangatnya sinar, bahkan menerjemahkan hakikat sinar tersebut.***
Demikianlah sejumput adegan videoclip The Wall Pink Floyd.
Satire yang dilantunkan David Gillmour dan konco-konconya ini memang menjadi masterpiece mereka. Sebuah refleksi natural manusiawi yang gaungnya selayaknya mampu menggedor dinding-dinding kaum pemikir pendidikan.
Apa boleh buat, pendidikan – bukan persekolahan – memang paling asyik untuk dikasak-kusuki. Karena, bagaimanapun, adanya dunia seperti sekarang adalah produk pendidikan. Sehingga amat wajar jika ada yang menggerutu, “Sungguh nonsense reformasi di Indonesia ini jika tidak dimulai dari reformasi pendidikan.”
Reformasi, ya, pembentukan kembali. Hanya sayangnya kata ‘kembali’ ini sekarang menjadi bias. Kata sederhana nan indah ini menjadi rumit. Kian diotak-atik, kian ruwet. Kita pun terengah-engah tanpa tahu jalan kembali di dalam labyrinth buatan kita sendiri. Sambil terengah-engah tanpa tahu jalan pulang – atau memang tidak ingin pulang? – kadang-kadang kita berpikir, agar terampil perlu keterampilan proses, lha kok smart solution soal pilihan ganda. Katanya otonomi, lha kok penyeragaman. Katanya hanya salah satu bagian alat pendidikan, lha kok menjadi tujuan pendidikan. Katanya bangsa yang menjunjung tinggi seni budaya, tetapi seberapa besar pikiran dan dana tercurah untuk bidang ini jika dibandingkan untuk bidang yang lain. Dan masih banyak paradoksitas yang lumrah muncul dalam pemikiran. Yah, konon kabarnya eksistensi manusia berpendidikan dimulai dari daya melitnya.
Kembali, ya, kembali. Mungkin ada baiknya istirah sejenak di bawah pohon rindang di samping kali kemericik sambil menikmati kicau burung papasan dan membayangkan para guru kita dahulu, misalnya, Zoroaster, Kong Hu Chu, Budha, Mahavira, Isa, Muhammad, Sunan Kalijaga, Mohandas Gandhi, dan Ibu Theresia. Mereka adalah pendidik sejati. Meskipun terhijab oleh ruang dan waktu, plot pendidikan mereka sama: berpijak pada ketulusan, metode kesatuan antara akal, seni, kasih sayang, dengan tujuan pendidikan: ketenteraman hati dalam bingkai kemanusiaan. Sepertinya tak ada target pendidikan lain yang melebihi target tersebut. Mereka adalah agen perubahan. Di bawah pohon yang rindang, beralas rerumputan, guru dan murid-murid tak beralas kaki itu berkolaborasi. Mereka mengukir, tidak menyihir.
Perubahan tidak berarti mutant tetapi kembali menuju hakikat manusia. Kalau pendidikan hanya dipandang dari sudut industri, esok pagi para pengambil keputusan di bidang pendidikan bisa merumahkan guru. Karena pengerahan guru selama ini ternyata tidak efektif dan sekadar penghambur-hamburan. Lebih baik membuka bimbingan belajar untuk menghadapi UAN, kursus komputer, bahasa Inggris, menjahit, bengkel, dan montir, misalnya. Alokasi waktu dan dana jauh lebih sedikit dibanding sekolah formal, tetapi output keterampilannya dijamin andal. Apalagi jika semua sudah serba-cyber, murid tidak lagi membutuhkan manusia. Anak-anak cukup berinteraksi dan bercanda dengan skrup, kabel, IC, microchip, dan perangkat sejenisnya. Tak perlu kasih sayang dan apresiasi terhadap sesama.
Kalau tidak, sejarah selalu berulang. Formasi otoritas pendidikan sering salah menafsirkan kepandaian, kepiawaian, bahkan nasib sesorang. Otoritas ini pernah menyepak Thomas Alva Edison keluar dari sekolah, karena menganggap anak genius ini luar biasa dungunya. Praktis hanya tiga bulan anak ini menikmati pendidikan formal. Jadi, tidaklah terlalu mengherankan kalau Thomas kecil melakukan eksperimen sendiri. Dia menduga bahwa telur menetas karena suhu yang hangat. Dan ibunya pun kaget, anak imut ini mengerami telur ayam. Hasil dari daya melitnya, sebelum usianya menyentuh 35 tahun dia sudah kesohor. Dari kejeniusannya lahir 1.093 barang baru buat orang sezamannya.
Di Italia ‘otoritas pendidikan’ juga memakan korban. Kali itu korbannya Galileo Galilei. Ilmuwan kondang yang putus kuliah karena miskin itu dipenjarakan di rumahnya sendiri karena teorinya bertentangan dengan teori yang dianut ‘otoritas’ meskipun sekarang orang bisa membuktikan teori mana yang benar. Amatlah beralasan kalau generasi berikutnya para pelaku pendidikan membaptis ilmuwan kelahiran Pisa ini sebagai simbol pemberontakan terhadap dogma dan kekuasaan otoriter yang membelenggu kemerdekaan berpikir.
Nun jauh di belahan anak benua sana sejarah setali tiga uang. Kali itu yang tertimpa adalah Rabindranath Tagore. Semasa kanak dia menyebut sekolah sebagai “siksaan yang tak tertahankan.” Tak heran bila pada usia tiga belas tahun dia berhenti menjadi siswa dan beralih menjadi penyair, kemudian menjadi pemikir India paling kesohor hingga detik ini: orang Asia pertama yang mendapatkan hadiah Nobel untuk kesusastraan. Tahun 1924 dia berbicara di depan para guru di Tiongkok, “Sering aku hitung tahun-tahun yang harus kujalani sebelum aku memperoleh kemerdekaanku. Aku membayangkan sihir gaib yang mampu mengubahku serta-merta menjadi dewasa. Baginya, sekolah seperti ruang tunggu yang pengap, sebelum seorang anak boleh pergi setelah dianggap ‘jadi’.
Ketiga anak tersebut mungkin hanya salah tiga anak di antara miliaran anak lain yang memiliki beban psikologis sehubungan dengan pendidikan. Saat ini mungkin mereka hidup lagi di kelas kita. Mereka bertanya, menyapa, menyalami, dan matanya menebar kasih sayang. Bahkan tidak jarang kita dapat banyak pengetahuan dari mereka. Anak-anak surga menebar itu semua dengan tulus. Mereka tidak perlu teori etika dan adab yang njlimet. Cukup satu kata: ketulusan. Mereka langsung bisa menerjemahkan dan mempraktikkan. Berbekal kata sederhana ini mungkin akan kita jelang masa emas pendidikan sepeti masa lalu. Di pagi hari, di ujung gang anak-anak menanti, berebut menyalami, berebut membawakan tas, dan berebut menuntunkan sepeda onthel kita.
Kembali, di bawah pohon rindang di samping kali kemericik sambil menikmati kicau burung papasan, dunia pendidikan jadi sangat simpel. Pendidikan dalam rangka memanusiakan. Pendidikan semacam katarsis mengasyikkan untuk menuju pembebasan. Pendidikan adalah pembuka jendela bagi murid. Guru tidak sekadar membisikkan definisi hangatnya cahaya matahari. Tetapi, biarkan murid sendiri yang menghirup segarnya udara, merasakan hangatnya sinar, bahkan menerjemahkan hakikat sinar tersebut.***
Anak-anak Multimedia
Anak-anak Multimedia
(Sebuah potongan cerita yang lepas )
Dalam hidup ini
banyak hal dapat menunggu
Tidaklah demikian dengan sang anak
Kepadanya “hari esok” tak da-pat kaukatakan
Ia hanya mengerti satu perka-taan saja:
“Hari ini.”
(Gabriella Mistra)
Tak dipungkiri, puisi karya penyair Chili di atas memang mencerminkan karakter universal anak: “diktator” kecil yang manis dan imut.
Meskipun demikian kecenderungannya sekarang, demi anak orang tua bisa berbuat apa saja. Bahkan saking sayangnya, dengan alasan untuk mempersiapkan anak dalam bergulat melawan kekejaman dunia, sejak dini orang tua sudah membekali lengkap segenap sarana-prasarana plus skenarionya. Sehingga, sering tanpa sadar anak pun tercerabut dari jatidirinya. Tidak lagi seperti yang disyairkan oleh Gabriella Mistra di atas. Anak sekadar aktor dalam cerita lepas tak berjuntrung dan tak tahu mengapa harus memainkan peran tersebut.
Orang tua pun sadar sepenuhnya bahwa di era sekarang, teknologi plus asessori multimedianya merupa-kan senjata ampuh untuk menaklukkan dunia. Sehingga dengan alasan tersebut orang tua banyak yang tergopoh-gopoh memakaikan perlengkapan tersebut ke tubuh anak sebagai senjata sekaligus pertahanan yang ampuh.
Dalam konteks masya-rakat yang memang sudah total memasuki era teknologi multimedia, baik mental, sosial, mau-pun budaya hal ini tidak menjadi masalah. Tapi dalam konteks masyarakat kita yang serba nanggung dan terbata-bata dalam membaca teknologi hal ini bisa menjadi masalah jika tidak dipersiapkan pijakannya. Pijakan yang dimaksud di sini adalah mental, sosial, dan buda-yanya.
Berkaitan dengan hal tersebut mungkin layak kita sitirkan tulisan Garin Nugroho:
Mereka hidup di dunia tumpang tindih, berhadapan dengan produk dari berbagai fase yang sering tidak selesai, dari pra-modern, modern, hingga pasca-modern: Inilah anak-anak yang lahir, hidup, dan menikmati revolusi interaktif multimedia.
Pernyataan Garin terse-but sesuai dengan ungkapan banyak kalangan tentang anak kita: anak instan. Tinggal pakai. Mereka tidak dibimbing menuju keterampilan prosesnya dan tidak jelas untuk apa itu semua. Pokoknya, seusai sekolah, mengikuti les, pulang, kunci kamar, dan masuk ke dunia teknologi multimedia.
Jangan anggap remeh dunia teknologi multimedia. Di sini semua tersedia. Bahkan seisi jagat bisa terdapat di dalam dunia canggih tersebut. Dari ilmu pengetahuan, hiburan, pernik-pernik manusia, baik yang romantis maupun berdarah-darah. Dalam komputer multi-media, misalnya, anak bisa turut dalam jalinan cinta kasih, berkelit dari serangan lawan, bahkan dapat menghajar dan membunuh lawan. Bagi mereka, itu semua perkara sederhana.
Sayangnya, itu semua virtual belaka. Maya. Sebuah dunia tanpa daging, darah dan hati nurani. Akibatnya, dalam dunia yang nyata mereka bisa terperangah. Kekejaman, perkelahian, keroyokan (baca: kepe-ngecutan), dan tawuran dalam konteks yang sebenarnya ter-nyata eksesnya tidak sesederhana episode Virtual Fighter maupun Warcraft. Rasa takut, cemas, dan nyeri ternyata memang ada. Nyawa ternyata bisa melayang hanya dikarenakan perkara sangat sepele.
Lantas, apakah teknologi merupakan dosa? Tidak! Teknologi harus dikuasai. Teknologi canggih harus berada di dalam genggaman. Bukan sebaliknya, kita malah seperti anak kecil di belantara pedalaman yang melihat mobil-mobilan, terperangah, terheran-heran, mengagung-agungkan, dan ber-sujud di hadapan tuhan kecil bernama teknologi canggih. Dengan kata lain, penalarannya harus dibenahi, yaitu, ternyata, teknologi hanya merupakan salah satu alat bantu untuk meraih dunia yang manusiawi. Di sini ada hati, darah, daging, cemas, takut, kecewa, bahagia, toleransi, dan tentunya ada cinta.***
Purnomo E Hudoyo
(Sebuah potongan cerita yang lepas )
Dalam hidup ini
banyak hal dapat menunggu
Tidaklah demikian dengan sang anak
Kepadanya “hari esok” tak da-pat kaukatakan
Ia hanya mengerti satu perka-taan saja:
“Hari ini.”
(Gabriella Mistra)
Tak dipungkiri, puisi karya penyair Chili di atas memang mencerminkan karakter universal anak: “diktator” kecil yang manis dan imut.
Meskipun demikian kecenderungannya sekarang, demi anak orang tua bisa berbuat apa saja. Bahkan saking sayangnya, dengan alasan untuk mempersiapkan anak dalam bergulat melawan kekejaman dunia, sejak dini orang tua sudah membekali lengkap segenap sarana-prasarana plus skenarionya. Sehingga, sering tanpa sadar anak pun tercerabut dari jatidirinya. Tidak lagi seperti yang disyairkan oleh Gabriella Mistra di atas. Anak sekadar aktor dalam cerita lepas tak berjuntrung dan tak tahu mengapa harus memainkan peran tersebut.
Orang tua pun sadar sepenuhnya bahwa di era sekarang, teknologi plus asessori multimedianya merupa-kan senjata ampuh untuk menaklukkan dunia. Sehingga dengan alasan tersebut orang tua banyak yang tergopoh-gopoh memakaikan perlengkapan tersebut ke tubuh anak sebagai senjata sekaligus pertahanan yang ampuh.
Dalam konteks masya-rakat yang memang sudah total memasuki era teknologi multimedia, baik mental, sosial, mau-pun budaya hal ini tidak menjadi masalah. Tapi dalam konteks masyarakat kita yang serba nanggung dan terbata-bata dalam membaca teknologi hal ini bisa menjadi masalah jika tidak dipersiapkan pijakannya. Pijakan yang dimaksud di sini adalah mental, sosial, dan buda-yanya.
Berkaitan dengan hal tersebut mungkin layak kita sitirkan tulisan Garin Nugroho:
Mereka hidup di dunia tumpang tindih, berhadapan dengan produk dari berbagai fase yang sering tidak selesai, dari pra-modern, modern, hingga pasca-modern: Inilah anak-anak yang lahir, hidup, dan menikmati revolusi interaktif multimedia.
Pernyataan Garin terse-but sesuai dengan ungkapan banyak kalangan tentang anak kita: anak instan. Tinggal pakai. Mereka tidak dibimbing menuju keterampilan prosesnya dan tidak jelas untuk apa itu semua. Pokoknya, seusai sekolah, mengikuti les, pulang, kunci kamar, dan masuk ke dunia teknologi multimedia.
Jangan anggap remeh dunia teknologi multimedia. Di sini semua tersedia. Bahkan seisi jagat bisa terdapat di dalam dunia canggih tersebut. Dari ilmu pengetahuan, hiburan, pernik-pernik manusia, baik yang romantis maupun berdarah-darah. Dalam komputer multi-media, misalnya, anak bisa turut dalam jalinan cinta kasih, berkelit dari serangan lawan, bahkan dapat menghajar dan membunuh lawan. Bagi mereka, itu semua perkara sederhana.
Sayangnya, itu semua virtual belaka. Maya. Sebuah dunia tanpa daging, darah dan hati nurani. Akibatnya, dalam dunia yang nyata mereka bisa terperangah. Kekejaman, perkelahian, keroyokan (baca: kepe-ngecutan), dan tawuran dalam konteks yang sebenarnya ter-nyata eksesnya tidak sesederhana episode Virtual Fighter maupun Warcraft. Rasa takut, cemas, dan nyeri ternyata memang ada. Nyawa ternyata bisa melayang hanya dikarenakan perkara sangat sepele.
Lantas, apakah teknologi merupakan dosa? Tidak! Teknologi harus dikuasai. Teknologi canggih harus berada di dalam genggaman. Bukan sebaliknya, kita malah seperti anak kecil di belantara pedalaman yang melihat mobil-mobilan, terperangah, terheran-heran, mengagung-agungkan, dan ber-sujud di hadapan tuhan kecil bernama teknologi canggih. Dengan kata lain, penalarannya harus dibenahi, yaitu, ternyata, teknologi hanya merupakan salah satu alat bantu untuk meraih dunia yang manusiawi. Di sini ada hati, darah, daging, cemas, takut, kecewa, bahagia, toleransi, dan tentunya ada cinta.***
Purnomo E Hudoyo
Sabtu, 04 Juli 2009
Komik Indonesia
Apakah komik Indonesia sudah merdeka?
Belum.
Komik Indonesia masih di bawah cengkeram dominasi manga. Penjajahan manga ke dalam selera komik bangsa Indonesia sungguh sangat dahsyat. Kedahsyatan ini dikarenakan wabah manga terutama menyerang anak-anak dan remaja. Kalau sejak anak-anak sudah terdoktrin bahwa seni komik yang bagus itu adalah manga, maka sampai tua orang tersebut akan menganggap bahwa yang namanya komik itu adalah manga. Komik itu berarti gambar manusia yang matanya besar, bulu mata lentik, hidung mancung, pipi ranum, badannya tinggi, ramping, pakaian modis, dan kalau menangis air matanya seperti air terjun, Pokoknya gambaran khayal tentang hiperbolisme sosok manusia sempurna. Sekilas tokoh dalam manga lebih menyerupai gambaran orang Eropa atau Amerika. Padahal, ternyata, konon, manga merupakan perwujudan hiperbolisme gambaran khayal orang Jepang yang sebenarnya pada umumnya bermata sipit, hidung relatif tidak mancung, dan badan pendek.
Mengapa manga mampu merebak sedemikian rupa? Banyak faktor penyebab, beberapa di antaranya adalah teknologi, budaya instan, dan kepentingan dagang. Teknologi multimedia yang notabene didominasi Jepang mampu mengangkat citra komik Jepang. Dengan kata lain, satu judul komik Jepang sering diiringi dengan dukungan film kartun dengan judul sama. Akan halnya filusufi budaya instan, hal ini sebenarnya entah kebetulan atau tidak sudah diwakili dengan sosok Nobita dan kantong ajaib Dora Emon. Semua serba ingin cepat, mudah, dan tidak memedulikan keterampilan proses. Manga pun demikian. Karakter maupun corak gambar manga relatif sama, karena sejak kecil pengarang hanya disuguhi gambar komik jenis manga, sehingga ketika menggambar komik juga akan meniru yang sudah ada. Padahal kalau tidak dicekoki gambar manga tersebut, mungkin anak tersebut dapat melukis dengan gaya orisinalnya yang jauh lebih dahsyat dibanding pengarang sebelumnya. Sedangkan dari sisi bisnis, jelas penerbit akan lebih memilih menerbitkan komik yang relatif tidak mengandung risiko rugi, yaitu komik terjemahan. Penerbit tinggal membeli hak terjemahan dan penerbitan karya yang sudah terkenal.
Ada memang beberapa pengarang Indonesia yang berani melawan monotonisme seni komik ini. Mereka menginginkan karya komik yang variatif dan orisinal, tidak hanya meniru model dan bentuk yang sudah ada. Tetapi perjuangan mereka sifatnya masih gerilya. Perlawanan model gerilya ini dimungkinkan karena kalau melawan secara frontal akan hancur dilumat selera bangsa Indonesia yang sudah terdoktrin kepada aliran manga. Selain itu, sungguh sangat sedikit penerbit yang mau menerbitkannya. Penerbit lebih suka mengimpor komik Jepang dan tidak menanggung risiko tidak laku. Perkara seni komik Indonesia tidak berkembang dan tidak variatif, itu buka urusan mereka.
Manga masuk dan mewabah di Indonesia awal 1990-an. Sebelumnya komik Indonesia tuan rumah di negara sendiri. Sebelum tahun 1990 komik yang tersedia di toko buku baru maupun loak dan persewaan buku mayoritas komik asli Indonesia dan sedikit komik Eropa dan Amerika Serikat. Komik Jepang tidak ada. Anak-anak, remaja, dan dewasa sangat akrab dengan tokoh-tokoh komik asli Indonesia.
Kurun sebelum 1990 komik Indonesia benar-benar merdeka. Merdeka dalam artian bebas dalam berkarya. Pembaca pun sangat senang menerima karya-karya mereka. Komik Indonesia pada zaman tersebut sangat variatif. Masing-masing pengarang memiliki ciri khas, baik dalam gaya cerita maupun gambar. Sebagai contoh, corak lukisan Ganes Th dibandingkan dengan Teguh Santosa maupun Hans Jaladara sangat berbeda. Demikian juga dengan gaya bercerita.
Sekadar penambah spirit berkesenian komik, berikut gambaran tentang sekelumit kilas balik seni perkomikan Indonesia.
- 1930-an
Kho Wan Gie (lahir 1908 - wafat Mei 1983) adalah seorang komikus generasi pertama Indonesia yang karyanya mulai diterbitkan pada tahun 1929. Nama "Put" untuk pertama kali terbit Januari 1931. Karya awalnya, strip komik berjudul "Si Put On" adalah salah satu komik pertama di Indonesia dan menjadi pelopor komik-komik humor di Indonesia. "Put On" bercerita tentang seorang pria bujangan gendut dari kelas menengah yang lugu dan konyol yang tinggal bersama ibunya ("Nek") dan dua adiknya, "Tong" dan "Peng". Kadang-kadang muncul pula teman baiknya, "A Liuk", "A Kong" (wakil dari kaum totok), "O Tek" (wakil dari Tionghoa Belanda). Meskipun kisah-kisah "Si Put On" menggambarkan suasana masyarakat peranakan Tionghoa di Jakarta, nama "Put On" sendiri diambil dari bahasa Inggris atas saran direktur Sin Po saat itu, Aung Jan Goan.
Komik ini terbit pertama kali pada tahun Agustus 1931 di harian Sin Po dan terus terbit selama 30 tahun meskipun sempat terhenti pada masa pendudukan Jepang dari 1942 hingga 1946. "Si Put On" terakhir terbit dalam media majalah Pantjawarna dan Harian Warta Bhakti. Kedua penerbitan ini dikenal beraliran kiri. Sejak peristiwa G30S, kedua media itu berhenti terbit, dan "Si Put On" pun tenggelam bersamanya.
Setelah lama absen, Kho Wan Gie muncul lagi dengan menggunakan nama samaran "Sopoiku", yang artinya tidak lain "Siapa Itu". Dengan nama ini ia kembali menegaskan keberadaannya dalam dunia komik Indonesia.
Karyanya Sopoiku antara lain diberi judul dan seri "Nona A Go-Go", "Lemot dan Obud", "Agen Rahasia 013 (Bolong jilu)", "Dalip dan Dolop", "Djali Tokcer".
Kho Wan Gie pun tampil di Majalah Ria Film (dengan tokoh si Pengky), Varia Nada, dan Ria Remaja.
- 1940 – 1960-an
Sekitar akhir tahun 1940an, banyak komik Amerika yang disisipkan sebagai suplemen mingguan suratkabar. Di antaranya adalah komik seperti Tarzan, Rip Kirby, Phantom and Johnny Hazard. Kemudian penerbit seperti Gapura dan Keng Po dari Jakarta, dan Perfects dari Malang, mengumpulkannya menjadi sebuah buku komik. Di tengah-tengah membanjirnya komik-komik asing, hadir Siaw Tik Kwei, salah seorang komikus terdepan, yang memiliki teknik dan keterampilan tinggi dalam menggambar mendapatkan kesempatan untuk menampilkan komik adapatasinya dari legenda pahlawan Tiongkok ‘Sie Djin Koei’. Komik ini berhasil melampaui popularitas Tarzan di kalangan pembaca lokal. Di awal tahun 1950-an, salah satu pionir komik bernama Abdulsalam menerbitkan komik strip heroiknya di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, salah satunya berjudul “Kisah Pendudukan Jogja”, bercerita tentang agresi militer Belanda ke atas kota Yogyakarta. Komik ini kemudian dibukukan oleh harian Pikiran Rakyat dari Bandung. Sebagian pengamat komik berpendapat bahwa inilah buku komik pertama-tama oleh artis komik Indonesia.
- 1960 – 1980-an
Adapatasi dari komik asing dalam komik Indonesia mendapatkan tentangan dan kritikan dari kalangan pendidik dan pengkritik budaya. Karena itu penerbit seperti Melodi dari Bandung dan Keng Po dari Jakarta mencari orientasi baru dengan melihat kembali kepada khazanah kebudayaan nasional. Sebagai hasil pencarian itu maka cerita-cerita yang diambil dari wayang Sunda dan Jawa menjadi tema-tema prioritas dalam penerbitan komik selanjutnya. R.A. Kosasih adalah salah seorang komikus yang terkenal keberhasilannya membawa epik Mahabharata dari wayang ke dalam media buku komik. Sementara itu dari Sumatra, terutamanya di kota Medan, terdapat pionir-pionir komikus berketerampilan tinggi seperto Taguan Hardjo, Djas, dan Zam Nuldyn, yang menyumbangkan estetika dan nilai filosofi ke dalam seni komik. Di bawah penerbitan Casso and Harris, artis-artis komik ini mengeksplorasi cerita rakyat Sumatra yang kemudian menjadi tema komik yang sangat digemari dari tahun 1960an hingga 1970an.
Banyak dipengaruhi komik-komik dengan gaya Amerika, Eropa, dan Tiongkok. Sebagian besar memanfaatkan majalah dan koran sebagai medianya, meskipun beberapa karya seperti Majapahit oleh R.A. Kosasih juga mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam bentuk buku.
Tema yang banyak muncul adalah silat, pewayangan, cinta, superhero, dan humor-kritik.
Zaman ini bisa disebut sebagai zaman keemasan komik Indonesia. Pada zaman ini muncul seniman komik yang benar-benar melegenda. Karya-karya mereka diburu kolektor meskipun harganya menjadi sangat mahal. Di antara dari mereka adalah Ganes Th, Hans Jaladara, Djair, Teguh Santosa, Jan Mintaraga, R.A. Kosasih, Hasmi, Wied NS, Gerdi WK, Delsy Syamsumar, Sim, dan Zaldy. Pada zaman ini pihak sekolah sering kerepotan karena siswa banyak yang membawa komik karya pengarang-pengarang tersebut ke sekolah (selain novel silat stensil karya Kho Ping Ho dari Yogyakarta), sehingga sering diadakan razia komik. Razia ini membuat komik menjadi karya seni yang cenderung dianggap negatif.
Berikut adalah sedikit gambaran tentang beberapa komikus dan karya mereka.
- Ganes Th.
Ganes Th. (1935-1995) adalah komikus Indonesia yang sangat terkenal. Ia merupakan salah satu tonggak kejayaan komik Indonesia. Kisah dalam komik-komiknya begitu memikat hati pembaca komik Indonesia di era tahun 1970 sampai 1980-an. Murid dari Siaw Tik Kwie ini memiliki kelebihan dalam hal mengembangkan karakter tokoh, menjalin alur, menyuguhkan atmosfer kedaerahan, dan lukisannya memang bernilai seni tinggi.
Ganes Th. menciptakan tokoh Si Buta Dari Goa Hantu yang menjadi trade mark-nya dan merupakan tokoh komik lokal yang paling popular sepanjang masa. Komik Si Buta Dari Goa Hantu adalah komik silat Indonesia pertama. Terbitan perdananya langsung meledak sehingga komik Indonesia seperti dilanda demam silat sehingga banyak komikus lain yang mengekor di belakang kesuksesan Si Buta Dari Goa Hantu. Kabarnya komik seri ini dicetak hingga ratusan ribu eksemplar. Serial Si Buta dari Goa Hantu karya ciptaannya tidak akan pernah dilupakan orang. Petualangan Si Buta mulai dari Jawa Barat, Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah menunjukkan pengetahuannya yang luas dan kecintaan kepada tanah air yang begitu dalam. Selain Si Buta dari Goa Hantu, judul komik lainnya yang juga sukses adalah Tuan Tanah Kedawung, Jampang, Taufan, dan Rio Anak Serigala (murid si Buta).
- Jan Mintaraga
Komikus yang paling western style. Memakai nama lengkap Jan Mintaraga. Coretannya selevel komikus-komikus kelas satu Amerika. Setiap frame dalam komiknya seperti sebuah suguhan karya seni lukis tersendiri. Kalau pada umumnya pengarang komik terfokus pada gambar tokohnya saja, Jan tidak demikian. Tata artistik dan seting di dalam masing-masing frame diperhatikan seksama dan digarap secara serius, misalnya ornamen, corak batik, dan ukiran pada pintu maupun pilar. Karya monumentalnya, Sebuah Noda Hitam. Komik ini lebih tepat disebut novel-komik karena bagusnya alur cerita dan gaya lukisnya yang sudah menggunakan teknik tingkat tinggi.
Salah satu gambaran tokoh komiknya yang sangat terkenal adalah sosok pemuda mengenakan jins, sepatu kets, menggelantung jaket di pundaknya dengan wajah yang kumuh bak Kota Jakarta. Itulah ciri khas goretan Jan Mintaraga dalam komik-komik "roman Jakarta"—demikianlah julukan "genre" komik karya Jan Mintaraga, Sim, dan Zaldy. "Dia mampu menangkap semangat zaman," tutur Seno Gumira Ajidarma.
Jan lahir di Yogyakarta pada 1942, belajar di bawah bimbingan komikus R.A. Kosasih dan Ardisoma. Dengan guru yang lebih dikenal sebagai komikus wayang, Jan malah lebih terkenal sebagai komikus roman remaja. Bahkan komiknya agak kebarat-baratan.
"Komik saya terilhami lagu-lagu Bob Dylan," tutur Jan mengakui. Ia selalu mengambil seting Kota Jakarta, metropolitan, kehidupan anak-anak orang kaya dengan segala problema cintanya. Tapi ia juga sempat membuat beberapa komik silat yang juga sukses seperti Indra Bayu, Runtuhnya Pualam Putih, Kelelawar, Puri Iblis, Runtuhnya Puri Iblis, Misteri Tertangkap Jin, Macan Putih, dan Sepasang Gelang Mustika. Tapi tokoh ciptaannya yang terkenal, Rio Purbaya, dalam Sebuah Noda Hitam, yang laris pada awal 1970-an. "Untuk Jakarta saja, menurut penerbitnya, terjual 20 ribu eksemplar dan menjadi box office," ujar Jan, yang pernah mengenyam bangku Seni Rupa ITB dan Insitut Seni Indonesia di Yogyakarta. Saking popularnya komik itu, aktor Roy Marten, yang pernah ngetop pada masa itu, mengaku terilhami tokoh Rio setelah melahap habis komik itu. Roy bahkan sampai berpenampilan sama dengan Rio, kemeja kotak-kotak biru, dan celana jeans belel.
Pada 1970-an, untuk komik setebal 48 halaman, honor Jan adalah Rp 200 ribu. Sebagai gambaran, harga emas waktu itu Rp 250 per gram, jadi bisa dibayangkan betapa jayanya kehidupan komikus yang sukses di zamannya.
Menjelang meninggal Jan Mintaraga masih bekerja di Dunia Fantasi, Ancol, memimpin pelukisan wahana Rama dan Shinta era futuristik.
- Hans Jaladara
Dalam diam, pendekar itu menyeret peti mati yang berisi jenazah seorang perempuan. Ia membawanya ke pusat keramaian maupun ke sudut-sudut sepi. Pendekar berbadan kurus itu bernama Panji Tengkorak. Siapa perempuan dalam peti itu? Dia adalah Mesia, istri yang tidak dicintainya. Panji menyeret peti itu karena sebuah ikatan janji. Naif? Absurd? Entah, tapi adegan tersebut mampu menggetarkan para pembaca komik Hans Jaladara.
Karakter Panji Tengkorak yang antihero tersebut, menurut Hans Jaladara—bernama asli Hans Riyanto—sebetulnya tampil justru "bukan dari segi keperkasaannya," ujar Hans. Bahkan, menurut Seno Gumira Ajidarma, sastrawan alumnus SMP 5 Yogyakarta yang mengaku penggemar berat Panji Tengkorak, ini bukanlah sebuah komik silat melainkan sebuah drama cinta yang tragis. Tak mengherankan bila dari satu jilid ke jilid yang lain, Panji digambarkan berhati lemah dan gampang jatuh ke dalam kendali tangan perempuan. Menurut Hans, yang lahir di Yogyakarta 62 tahun lalu, petualangan dan filusufi hidup Panji lahir dari perbincangan dengan teman-temannya. Selain Panji Tengkorak, dari tangan Hans juga muncul komik Belibis Putih, Walet Merah, Si Rase Terbang, dan Dian Boma, yang tak kalah populer.
Dunia komik memang sudah menarik minat Hans sejak kecil. Anak kedua dari tiga bersaudara putra Linggodito ini masih ingat dirinya melonjak kegirangan ketika diberi hadiah komik Jepang dan Amerika oleh sang ayah pada hari ulang tahunnya yang kedelapan. Sejak itu ia makin gemar corat-coret. Bahkan, satu hari ia pernah mengerjakan semua tugas menggambar temannya di sekolah sampai lupa menggambar untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, ketika dewasa, untuk mengasah bakat seninya, Hans belajar di Sekolah Seni Rupa Nasional.
Pilihan Hans untuk menggeluti komik tak sia-sia. Selain ia beroleh penghasilan yang lumayan—setara dengan gaji pegawai negeri menengah—karya komiknya juga diangkat ke layar lebar. Walaupun tidak menjadi kaya, dari hasil tabungannya Hans mampu membeli mobil dan rumah dengan kredit. Pada 1979, Panji Tengkorak dihargai Rp 500 ribu oleh produser.
- R.A. Kosasih
Dari tangannya yang keriput, sejarah pewayangan bergerak dan menjadi gambar hidup. Hastinapura, Indraprasta, Dursasana yang durjana, Drupadi yang setia, Yudhistira yang sabar, Srikandi yang perkasa, dan nasib Bambang Ekalaya yang tragis. R.A. Kosasih, yang kini menginjak usianya yang ke-80 tahun, mungkin orang yang patut berbahagia di negeri ini. Sebab, melalui karya-karyanya ia bukan saja telah memperkenalkan wayang kepada masyarakat Indonesia—non-Jawa—tetapi ia juga telah memasyarakatkan tokoh-tokoh dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Tapi Kosasih adalah sebuah kesederhanaan. Dia pasti tak tahu bahwa pengagumnya berderet, mulai dari Sardono W. Kusumo, Arswendo Atmowiloto, Umar Kayam, Marsilam Simanjuntak, hingga kartunis G.M. Sudarta, dan juga ribuan atau mungkin jutaan pembaca komiknya di seantero Indonesia (Tempo, 21 Desember 1991).
Lahir di Desa Bondongan, Bogor, Jawa Barat, Kosasih adalah putra bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan Raden Wiradikusuma. Diawali dari mengamati bungkusan sayur yang berisi potongan kartun Tarzan, Kosasih yang gemar nonton wayang golek itu sering mencoba melukis kartun, yang kemudian diberikan kepada tetangganya.
Tahun 1939 ia mulai melukis ilustrasi untuk buku-buku keluaran Departemen Pertanian Bogor. Debutnya sebagai pengarang komik dimulai pada 1953. Lulusan HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Pasundan itu memulai serial pertamanya Sri Asih, yang dicetak 3.000 eksemplar dan habis licin tandas. Setelah itu, Siti Gahara, Sri dewi, serial Mahabharata, Ramayana, dan... sejarah pun bergulir.
Kini, dalam usianya yang ke-90, jari-jarinya yang gemetar itu hanya sanggup memegang dan menikmati komik impor Jepang milik cucunya. Perjalanan usia—dan menurunnya produktivitas—membuat namanya meredup. Namun itu bukan satu-satunya sebab: komik Indonesia memang tidak terus-terusan berjaya. Kosasih mengaku, minat pembeli terhadap komik wayang mulai menurun selepas tahun 1980-an, bersamaan dengan banjirnya komik impor—Jepang terutama. Sejak 1993, Kosasih tak pernah lagi menyentuh pen dan tinta. Kini ia tinggal di kawasan Rempoa, Jakarta Selatan. Di lantai atas rumah itu, di sebuah ruang berukuran 5 x 20 meter, Kosasih dan istrinya menjalani hari-hari dengan tenang. Di sudut ruangan, ia menyimpan semua peralatan gambarnya dengan rapi untuk kenang-kenangan.
Untuk menunjang hidup, ia masih memperoleh royalti sekadarnya dari komik Mahabharata yang dicetak ulang penerbit Gramedia.
- Djair
Komikus ini tergolong komikus otodidak. Karyanya yang paling terkenal adalah Jaka Sembung, Djaka Gledek, Si Tolol, Kiamat Kandang Haur, Malaikat Bayangan, dan Toan Anak Jin. Ia sudah membuat komik sejak masih remaja. Padahal, dulu ayahnya menaruh harapan supaya Djair menjadi insinyur. "Waktu itu saya sering dimarahi Ayah karena lebih senang membuat komik daripada belajar. Akhirnya saya mencuri-curi kesempatan," tutur Djair. Ia menggemari karya-karya Ganes Th. (Si Buta dari Goa Hantu), Jan Mintaraga (Rio Purbaya), dan Hans Jaladara (Panji Tengkorak).
Mungkin karena itulah komik-komik Djair juga terpengaruh dari komikus yang dikaguminya; ia cenderung mengisahkan pengembaraan seorang pendekar dalam menegakkan kebenaran. Kisah pengembaraan para pendekar yang dianggap pahlawan itu lengkap dibumbui cerita kehidupan sehari-harinya, sehingga terasa membumi. Lihat saja Jaka Sembung. Berbeda dengan tokoh hero seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Panji Tengkorak yang selalu berkawan dengan sunyi, Jaka Sembung justru digambarkan sebagai tokoh yang sudah berkeluarga. Atribut yang digunakan Jaka juga tidak seperti Si Buta, yang berpakaian kulit ular, melainkan baju biasa berlilit sarung. Begitu populernya hingga kisah Jaka Sembung itu sempat diangkat ke layar lebar dengan bintang Barry Prima.
Pada masa jayanya, penghasilan yang diperolehnya cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Maklum, untuk satu cerita—terdiri dari 7 sampai 10 jilid—ia memperoleh Rp 100 ribu, yang merupakan angka yang tinggi untuk ukuran tahun 1960-an. Sayang, zaman keemasannya sulit terulang. Ia bahkan pesimistis, komik Indonesia bakal bangkit kembali. Soalnya, "Sekarang sudah ada televisi, bioskop, mal, dan videogame. Anak-anak sudah terbiasa dicekoki komik terjemahan dari luar negeri," kata Djair.
Demikianlah sekelumit flashback kejayaan komik Indonesia. Kilas balik tersebut diharapkan dapat menggugah semangat berkesenian yang orisinal, seperti yang sekarang ditunjukkan oleh Ahmad Thoriq dengan Carok dan Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad dengan Benny and Mice. Atau mau ikut berjuang di bidang kesenian komik ala Apotik Komik atau Daging Tumbuh. Selamat berjuang di bidang kesenian!*** epeha
Belum.
Komik Indonesia masih di bawah cengkeram dominasi manga. Penjajahan manga ke dalam selera komik bangsa Indonesia sungguh sangat dahsyat. Kedahsyatan ini dikarenakan wabah manga terutama menyerang anak-anak dan remaja. Kalau sejak anak-anak sudah terdoktrin bahwa seni komik yang bagus itu adalah manga, maka sampai tua orang tersebut akan menganggap bahwa yang namanya komik itu adalah manga. Komik itu berarti gambar manusia yang matanya besar, bulu mata lentik, hidung mancung, pipi ranum, badannya tinggi, ramping, pakaian modis, dan kalau menangis air matanya seperti air terjun, Pokoknya gambaran khayal tentang hiperbolisme sosok manusia sempurna. Sekilas tokoh dalam manga lebih menyerupai gambaran orang Eropa atau Amerika. Padahal, ternyata, konon, manga merupakan perwujudan hiperbolisme gambaran khayal orang Jepang yang sebenarnya pada umumnya bermata sipit, hidung relatif tidak mancung, dan badan pendek.
Mengapa manga mampu merebak sedemikian rupa? Banyak faktor penyebab, beberapa di antaranya adalah teknologi, budaya instan, dan kepentingan dagang. Teknologi multimedia yang notabene didominasi Jepang mampu mengangkat citra komik Jepang. Dengan kata lain, satu judul komik Jepang sering diiringi dengan dukungan film kartun dengan judul sama. Akan halnya filusufi budaya instan, hal ini sebenarnya entah kebetulan atau tidak sudah diwakili dengan sosok Nobita dan kantong ajaib Dora Emon. Semua serba ingin cepat, mudah, dan tidak memedulikan keterampilan proses. Manga pun demikian. Karakter maupun corak gambar manga relatif sama, karena sejak kecil pengarang hanya disuguhi gambar komik jenis manga, sehingga ketika menggambar komik juga akan meniru yang sudah ada. Padahal kalau tidak dicekoki gambar manga tersebut, mungkin anak tersebut dapat melukis dengan gaya orisinalnya yang jauh lebih dahsyat dibanding pengarang sebelumnya. Sedangkan dari sisi bisnis, jelas penerbit akan lebih memilih menerbitkan komik yang relatif tidak mengandung risiko rugi, yaitu komik terjemahan. Penerbit tinggal membeli hak terjemahan dan penerbitan karya yang sudah terkenal.
Ada memang beberapa pengarang Indonesia yang berani melawan monotonisme seni komik ini. Mereka menginginkan karya komik yang variatif dan orisinal, tidak hanya meniru model dan bentuk yang sudah ada. Tetapi perjuangan mereka sifatnya masih gerilya. Perlawanan model gerilya ini dimungkinkan karena kalau melawan secara frontal akan hancur dilumat selera bangsa Indonesia yang sudah terdoktrin kepada aliran manga. Selain itu, sungguh sangat sedikit penerbit yang mau menerbitkannya. Penerbit lebih suka mengimpor komik Jepang dan tidak menanggung risiko tidak laku. Perkara seni komik Indonesia tidak berkembang dan tidak variatif, itu buka urusan mereka.
Manga masuk dan mewabah di Indonesia awal 1990-an. Sebelumnya komik Indonesia tuan rumah di negara sendiri. Sebelum tahun 1990 komik yang tersedia di toko buku baru maupun loak dan persewaan buku mayoritas komik asli Indonesia dan sedikit komik Eropa dan Amerika Serikat. Komik Jepang tidak ada. Anak-anak, remaja, dan dewasa sangat akrab dengan tokoh-tokoh komik asli Indonesia.
Kurun sebelum 1990 komik Indonesia benar-benar merdeka. Merdeka dalam artian bebas dalam berkarya. Pembaca pun sangat senang menerima karya-karya mereka. Komik Indonesia pada zaman tersebut sangat variatif. Masing-masing pengarang memiliki ciri khas, baik dalam gaya cerita maupun gambar. Sebagai contoh, corak lukisan Ganes Th dibandingkan dengan Teguh Santosa maupun Hans Jaladara sangat berbeda. Demikian juga dengan gaya bercerita.
Sekadar penambah spirit berkesenian komik, berikut gambaran tentang sekelumit kilas balik seni perkomikan Indonesia.
- 1930-an
Kho Wan Gie (lahir 1908 - wafat Mei 1983) adalah seorang komikus generasi pertama Indonesia yang karyanya mulai diterbitkan pada tahun 1929. Nama "Put" untuk pertama kali terbit Januari 1931. Karya awalnya, strip komik berjudul "Si Put On" adalah salah satu komik pertama di Indonesia dan menjadi pelopor komik-komik humor di Indonesia. "Put On" bercerita tentang seorang pria bujangan gendut dari kelas menengah yang lugu dan konyol yang tinggal bersama ibunya ("Nek") dan dua adiknya, "Tong" dan "Peng". Kadang-kadang muncul pula teman baiknya, "A Liuk", "A Kong" (wakil dari kaum totok), "O Tek" (wakil dari Tionghoa Belanda). Meskipun kisah-kisah "Si Put On" menggambarkan suasana masyarakat peranakan Tionghoa di Jakarta, nama "Put On" sendiri diambil dari bahasa Inggris atas saran direktur Sin Po saat itu, Aung Jan Goan.
Komik ini terbit pertama kali pada tahun Agustus 1931 di harian Sin Po dan terus terbit selama 30 tahun meskipun sempat terhenti pada masa pendudukan Jepang dari 1942 hingga 1946. "Si Put On" terakhir terbit dalam media majalah Pantjawarna dan Harian Warta Bhakti. Kedua penerbitan ini dikenal beraliran kiri. Sejak peristiwa G30S, kedua media itu berhenti terbit, dan "Si Put On" pun tenggelam bersamanya.
Setelah lama absen, Kho Wan Gie muncul lagi dengan menggunakan nama samaran "Sopoiku", yang artinya tidak lain "Siapa Itu". Dengan nama ini ia kembali menegaskan keberadaannya dalam dunia komik Indonesia.
Karyanya Sopoiku antara lain diberi judul dan seri "Nona A Go-Go", "Lemot dan Obud", "Agen Rahasia 013 (Bolong jilu)", "Dalip dan Dolop", "Djali Tokcer".
Kho Wan Gie pun tampil di Majalah Ria Film (dengan tokoh si Pengky), Varia Nada, dan Ria Remaja.
- 1940 – 1960-an
Sekitar akhir tahun 1940an, banyak komik Amerika yang disisipkan sebagai suplemen mingguan suratkabar. Di antaranya adalah komik seperti Tarzan, Rip Kirby, Phantom and Johnny Hazard. Kemudian penerbit seperti Gapura dan Keng Po dari Jakarta, dan Perfects dari Malang, mengumpulkannya menjadi sebuah buku komik. Di tengah-tengah membanjirnya komik-komik asing, hadir Siaw Tik Kwei, salah seorang komikus terdepan, yang memiliki teknik dan keterampilan tinggi dalam menggambar mendapatkan kesempatan untuk menampilkan komik adapatasinya dari legenda pahlawan Tiongkok ‘Sie Djin Koei’. Komik ini berhasil melampaui popularitas Tarzan di kalangan pembaca lokal. Di awal tahun 1950-an, salah satu pionir komik bernama Abdulsalam menerbitkan komik strip heroiknya di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, salah satunya berjudul “Kisah Pendudukan Jogja”, bercerita tentang agresi militer Belanda ke atas kota Yogyakarta. Komik ini kemudian dibukukan oleh harian Pikiran Rakyat dari Bandung. Sebagian pengamat komik berpendapat bahwa inilah buku komik pertama-tama oleh artis komik Indonesia.
- 1960 – 1980-an
Adapatasi dari komik asing dalam komik Indonesia mendapatkan tentangan dan kritikan dari kalangan pendidik dan pengkritik budaya. Karena itu penerbit seperti Melodi dari Bandung dan Keng Po dari Jakarta mencari orientasi baru dengan melihat kembali kepada khazanah kebudayaan nasional. Sebagai hasil pencarian itu maka cerita-cerita yang diambil dari wayang Sunda dan Jawa menjadi tema-tema prioritas dalam penerbitan komik selanjutnya. R.A. Kosasih adalah salah seorang komikus yang terkenal keberhasilannya membawa epik Mahabharata dari wayang ke dalam media buku komik. Sementara itu dari Sumatra, terutamanya di kota Medan, terdapat pionir-pionir komikus berketerampilan tinggi seperto Taguan Hardjo, Djas, dan Zam Nuldyn, yang menyumbangkan estetika dan nilai filosofi ke dalam seni komik. Di bawah penerbitan Casso and Harris, artis-artis komik ini mengeksplorasi cerita rakyat Sumatra yang kemudian menjadi tema komik yang sangat digemari dari tahun 1960an hingga 1970an.
Banyak dipengaruhi komik-komik dengan gaya Amerika, Eropa, dan Tiongkok. Sebagian besar memanfaatkan majalah dan koran sebagai medianya, meskipun beberapa karya seperti Majapahit oleh R.A. Kosasih juga mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam bentuk buku.
Tema yang banyak muncul adalah silat, pewayangan, cinta, superhero, dan humor-kritik.
Zaman ini bisa disebut sebagai zaman keemasan komik Indonesia. Pada zaman ini muncul seniman komik yang benar-benar melegenda. Karya-karya mereka diburu kolektor meskipun harganya menjadi sangat mahal. Di antara dari mereka adalah Ganes Th, Hans Jaladara, Djair, Teguh Santosa, Jan Mintaraga, R.A. Kosasih, Hasmi, Wied NS, Gerdi WK, Delsy Syamsumar, Sim, dan Zaldy. Pada zaman ini pihak sekolah sering kerepotan karena siswa banyak yang membawa komik karya pengarang-pengarang tersebut ke sekolah (selain novel silat stensil karya Kho Ping Ho dari Yogyakarta), sehingga sering diadakan razia komik. Razia ini membuat komik menjadi karya seni yang cenderung dianggap negatif.
Berikut adalah sedikit gambaran tentang beberapa komikus dan karya mereka.
- Ganes Th.
Ganes Th. (1935-1995) adalah komikus Indonesia yang sangat terkenal. Ia merupakan salah satu tonggak kejayaan komik Indonesia. Kisah dalam komik-komiknya begitu memikat hati pembaca komik Indonesia di era tahun 1970 sampai 1980-an. Murid dari Siaw Tik Kwie ini memiliki kelebihan dalam hal mengembangkan karakter tokoh, menjalin alur, menyuguhkan atmosfer kedaerahan, dan lukisannya memang bernilai seni tinggi.
Ganes Th. menciptakan tokoh Si Buta Dari Goa Hantu yang menjadi trade mark-nya dan merupakan tokoh komik lokal yang paling popular sepanjang masa. Komik Si Buta Dari Goa Hantu adalah komik silat Indonesia pertama. Terbitan perdananya langsung meledak sehingga komik Indonesia seperti dilanda demam silat sehingga banyak komikus lain yang mengekor di belakang kesuksesan Si Buta Dari Goa Hantu. Kabarnya komik seri ini dicetak hingga ratusan ribu eksemplar. Serial Si Buta dari Goa Hantu karya ciptaannya tidak akan pernah dilupakan orang. Petualangan Si Buta mulai dari Jawa Barat, Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah menunjukkan pengetahuannya yang luas dan kecintaan kepada tanah air yang begitu dalam. Selain Si Buta dari Goa Hantu, judul komik lainnya yang juga sukses adalah Tuan Tanah Kedawung, Jampang, Taufan, dan Rio Anak Serigala (murid si Buta).
- Jan Mintaraga
Komikus yang paling western style. Memakai nama lengkap Jan Mintaraga. Coretannya selevel komikus-komikus kelas satu Amerika. Setiap frame dalam komiknya seperti sebuah suguhan karya seni lukis tersendiri. Kalau pada umumnya pengarang komik terfokus pada gambar tokohnya saja, Jan tidak demikian. Tata artistik dan seting di dalam masing-masing frame diperhatikan seksama dan digarap secara serius, misalnya ornamen, corak batik, dan ukiran pada pintu maupun pilar. Karya monumentalnya, Sebuah Noda Hitam. Komik ini lebih tepat disebut novel-komik karena bagusnya alur cerita dan gaya lukisnya yang sudah menggunakan teknik tingkat tinggi.
Salah satu gambaran tokoh komiknya yang sangat terkenal adalah sosok pemuda mengenakan jins, sepatu kets, menggelantung jaket di pundaknya dengan wajah yang kumuh bak Kota Jakarta. Itulah ciri khas goretan Jan Mintaraga dalam komik-komik "roman Jakarta"—demikianlah julukan "genre" komik karya Jan Mintaraga, Sim, dan Zaldy. "Dia mampu menangkap semangat zaman," tutur Seno Gumira Ajidarma.
Jan lahir di Yogyakarta pada 1942, belajar di bawah bimbingan komikus R.A. Kosasih dan Ardisoma. Dengan guru yang lebih dikenal sebagai komikus wayang, Jan malah lebih terkenal sebagai komikus roman remaja. Bahkan komiknya agak kebarat-baratan.
"Komik saya terilhami lagu-lagu Bob Dylan," tutur Jan mengakui. Ia selalu mengambil seting Kota Jakarta, metropolitan, kehidupan anak-anak orang kaya dengan segala problema cintanya. Tapi ia juga sempat membuat beberapa komik silat yang juga sukses seperti Indra Bayu, Runtuhnya Pualam Putih, Kelelawar, Puri Iblis, Runtuhnya Puri Iblis, Misteri Tertangkap Jin, Macan Putih, dan Sepasang Gelang Mustika. Tapi tokoh ciptaannya yang terkenal, Rio Purbaya, dalam Sebuah Noda Hitam, yang laris pada awal 1970-an. "Untuk Jakarta saja, menurut penerbitnya, terjual 20 ribu eksemplar dan menjadi box office," ujar Jan, yang pernah mengenyam bangku Seni Rupa ITB dan Insitut Seni Indonesia di Yogyakarta. Saking popularnya komik itu, aktor Roy Marten, yang pernah ngetop pada masa itu, mengaku terilhami tokoh Rio setelah melahap habis komik itu. Roy bahkan sampai berpenampilan sama dengan Rio, kemeja kotak-kotak biru, dan celana jeans belel.
Pada 1970-an, untuk komik setebal 48 halaman, honor Jan adalah Rp 200 ribu. Sebagai gambaran, harga emas waktu itu Rp 250 per gram, jadi bisa dibayangkan betapa jayanya kehidupan komikus yang sukses di zamannya.
Menjelang meninggal Jan Mintaraga masih bekerja di Dunia Fantasi, Ancol, memimpin pelukisan wahana Rama dan Shinta era futuristik.
- Hans Jaladara
Dalam diam, pendekar itu menyeret peti mati yang berisi jenazah seorang perempuan. Ia membawanya ke pusat keramaian maupun ke sudut-sudut sepi. Pendekar berbadan kurus itu bernama Panji Tengkorak. Siapa perempuan dalam peti itu? Dia adalah Mesia, istri yang tidak dicintainya. Panji menyeret peti itu karena sebuah ikatan janji. Naif? Absurd? Entah, tapi adegan tersebut mampu menggetarkan para pembaca komik Hans Jaladara.
Karakter Panji Tengkorak yang antihero tersebut, menurut Hans Jaladara—bernama asli Hans Riyanto—sebetulnya tampil justru "bukan dari segi keperkasaannya," ujar Hans. Bahkan, menurut Seno Gumira Ajidarma, sastrawan alumnus SMP 5 Yogyakarta yang mengaku penggemar berat Panji Tengkorak, ini bukanlah sebuah komik silat melainkan sebuah drama cinta yang tragis. Tak mengherankan bila dari satu jilid ke jilid yang lain, Panji digambarkan berhati lemah dan gampang jatuh ke dalam kendali tangan perempuan. Menurut Hans, yang lahir di Yogyakarta 62 tahun lalu, petualangan dan filusufi hidup Panji lahir dari perbincangan dengan teman-temannya. Selain Panji Tengkorak, dari tangan Hans juga muncul komik Belibis Putih, Walet Merah, Si Rase Terbang, dan Dian Boma, yang tak kalah populer.
Dunia komik memang sudah menarik minat Hans sejak kecil. Anak kedua dari tiga bersaudara putra Linggodito ini masih ingat dirinya melonjak kegirangan ketika diberi hadiah komik Jepang dan Amerika oleh sang ayah pada hari ulang tahunnya yang kedelapan. Sejak itu ia makin gemar corat-coret. Bahkan, satu hari ia pernah mengerjakan semua tugas menggambar temannya di sekolah sampai lupa menggambar untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, ketika dewasa, untuk mengasah bakat seninya, Hans belajar di Sekolah Seni Rupa Nasional.
Pilihan Hans untuk menggeluti komik tak sia-sia. Selain ia beroleh penghasilan yang lumayan—setara dengan gaji pegawai negeri menengah—karya komiknya juga diangkat ke layar lebar. Walaupun tidak menjadi kaya, dari hasil tabungannya Hans mampu membeli mobil dan rumah dengan kredit. Pada 1979, Panji Tengkorak dihargai Rp 500 ribu oleh produser.
- R.A. Kosasih
Dari tangannya yang keriput, sejarah pewayangan bergerak dan menjadi gambar hidup. Hastinapura, Indraprasta, Dursasana yang durjana, Drupadi yang setia, Yudhistira yang sabar, Srikandi yang perkasa, dan nasib Bambang Ekalaya yang tragis. R.A. Kosasih, yang kini menginjak usianya yang ke-80 tahun, mungkin orang yang patut berbahagia di negeri ini. Sebab, melalui karya-karyanya ia bukan saja telah memperkenalkan wayang kepada masyarakat Indonesia—non-Jawa—tetapi ia juga telah memasyarakatkan tokoh-tokoh dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Tapi Kosasih adalah sebuah kesederhanaan. Dia pasti tak tahu bahwa pengagumnya berderet, mulai dari Sardono W. Kusumo, Arswendo Atmowiloto, Umar Kayam, Marsilam Simanjuntak, hingga kartunis G.M. Sudarta, dan juga ribuan atau mungkin jutaan pembaca komiknya di seantero Indonesia (Tempo, 21 Desember 1991).
Lahir di Desa Bondongan, Bogor, Jawa Barat, Kosasih adalah putra bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan Raden Wiradikusuma. Diawali dari mengamati bungkusan sayur yang berisi potongan kartun Tarzan, Kosasih yang gemar nonton wayang golek itu sering mencoba melukis kartun, yang kemudian diberikan kepada tetangganya.
Tahun 1939 ia mulai melukis ilustrasi untuk buku-buku keluaran Departemen Pertanian Bogor. Debutnya sebagai pengarang komik dimulai pada 1953. Lulusan HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Pasundan itu memulai serial pertamanya Sri Asih, yang dicetak 3.000 eksemplar dan habis licin tandas. Setelah itu, Siti Gahara, Sri dewi, serial Mahabharata, Ramayana, dan... sejarah pun bergulir.
Kini, dalam usianya yang ke-90, jari-jarinya yang gemetar itu hanya sanggup memegang dan menikmati komik impor Jepang milik cucunya. Perjalanan usia—dan menurunnya produktivitas—membuat namanya meredup. Namun itu bukan satu-satunya sebab: komik Indonesia memang tidak terus-terusan berjaya. Kosasih mengaku, minat pembeli terhadap komik wayang mulai menurun selepas tahun 1980-an, bersamaan dengan banjirnya komik impor—Jepang terutama. Sejak 1993, Kosasih tak pernah lagi menyentuh pen dan tinta. Kini ia tinggal di kawasan Rempoa, Jakarta Selatan. Di lantai atas rumah itu, di sebuah ruang berukuran 5 x 20 meter, Kosasih dan istrinya menjalani hari-hari dengan tenang. Di sudut ruangan, ia menyimpan semua peralatan gambarnya dengan rapi untuk kenang-kenangan.
Untuk menunjang hidup, ia masih memperoleh royalti sekadarnya dari komik Mahabharata yang dicetak ulang penerbit Gramedia.
- Djair
Komikus ini tergolong komikus otodidak. Karyanya yang paling terkenal adalah Jaka Sembung, Djaka Gledek, Si Tolol, Kiamat Kandang Haur, Malaikat Bayangan, dan Toan Anak Jin. Ia sudah membuat komik sejak masih remaja. Padahal, dulu ayahnya menaruh harapan supaya Djair menjadi insinyur. "Waktu itu saya sering dimarahi Ayah karena lebih senang membuat komik daripada belajar. Akhirnya saya mencuri-curi kesempatan," tutur Djair. Ia menggemari karya-karya Ganes Th. (Si Buta dari Goa Hantu), Jan Mintaraga (Rio Purbaya), dan Hans Jaladara (Panji Tengkorak).
Mungkin karena itulah komik-komik Djair juga terpengaruh dari komikus yang dikaguminya; ia cenderung mengisahkan pengembaraan seorang pendekar dalam menegakkan kebenaran. Kisah pengembaraan para pendekar yang dianggap pahlawan itu lengkap dibumbui cerita kehidupan sehari-harinya, sehingga terasa membumi. Lihat saja Jaka Sembung. Berbeda dengan tokoh hero seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Panji Tengkorak yang selalu berkawan dengan sunyi, Jaka Sembung justru digambarkan sebagai tokoh yang sudah berkeluarga. Atribut yang digunakan Jaka juga tidak seperti Si Buta, yang berpakaian kulit ular, melainkan baju biasa berlilit sarung. Begitu populernya hingga kisah Jaka Sembung itu sempat diangkat ke layar lebar dengan bintang Barry Prima.
Pada masa jayanya, penghasilan yang diperolehnya cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Maklum, untuk satu cerita—terdiri dari 7 sampai 10 jilid—ia memperoleh Rp 100 ribu, yang merupakan angka yang tinggi untuk ukuran tahun 1960-an. Sayang, zaman keemasannya sulit terulang. Ia bahkan pesimistis, komik Indonesia bakal bangkit kembali. Soalnya, "Sekarang sudah ada televisi, bioskop, mal, dan videogame. Anak-anak sudah terbiasa dicekoki komik terjemahan dari luar negeri," kata Djair.
Demikianlah sekelumit flashback kejayaan komik Indonesia. Kilas balik tersebut diharapkan dapat menggugah semangat berkesenian yang orisinal, seperti yang sekarang ditunjukkan oleh Ahmad Thoriq dengan Carok dan Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad dengan Benny and Mice. Atau mau ikut berjuang di bidang kesenian komik ala Apotik Komik atau Daging Tumbuh. Selamat berjuang di bidang kesenian!*** epeha
Langganan:
Postingan (Atom)